INDONESIA sebagai Presidensi G-20 telah menetapkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Bali pada 15-16 November 2022. G-20 adalah sebuah forum internasional yang fokus pada koordinasi kebijakan di bidang ekonomi dan pembangunan, dan juga guna mencapai pertumbuhan global yang kuat seimbang dan inklusif. Kelompok yang terdiri 19 negara dengan perekonomian besar di dunia, ditambah dengan satu organisasi antarpemerintahan dan supranasional, yaitu Uni Eropa.
Salah satu kegiatan paralel guna memeriahkan KTT G-20 adalah G-20 Religion Forum (R-20), yang akan berlangsung pada 2-3 November 2022 di Bali. Dibandingkan dengan G-20 yang telah banyak diulas, R-20 belum banyak dikaji. Tulisan ini dimaksudkan memperkaya ulasan R-20 dari sebuah perspektif yang lebih luas, khususnya berdasarkan interaksi penulis dengan tim kepanitian R-20. Beberapa hal yang akan ditelisik di sini adalah bagaimana ide dan konseptualisasi R-20, apa yang menjadi tujuan R-20, apa yang menyamakan dan membedakan antara R-20 dan Interfaith Forum (IF-20) G-20, dan bagaimana melihat R-20 dalam kerangka teori Dialog Antaragama.
Solusi persoalan kemanusiaan global
Nahdlatul Ulama (NU), organisasi massa Islam terbesar di dunia, telah menginisiasi R-20 sebagai satu cara mempromosikan agama sebagai solusi persoalan kemanusiaan global. Upaya NU tersebut, telah dimulai satu dekade terakhir, baik sendiri maupun berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil di dalam dan luar negeri. Misalnya, pada 2019 di Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Banjar, Jawa Barat, NU telah merekomendasikan bahwa kategori kafir tidak memiliki dasar hukum dalam sebuah negara bangsa yang modern.
Ini penting untuk menegaskan, bahwa di Indonesia ada kesetaraan antarwarga negara terlepas dari apapun agama, suku ras dan bahasanya. Sedangkan pada 2021, Aliansi Injili Dunia (the World Evangelical Alliance), yang mewakili 600 juta Protestan di 143 negara, telah bergabung dengan NU dan Komunitas Imam W Deen Mohammed untuk menandatangani Pernyataan Masjid Bangsa di Washington, DC. Berbagai upaya strategis dengan menampilkan dua contoh di atas, menjadi pondasi bagi NU guna memanfaatkan presidensi Indonesia di G-20 tahun ini dalam meluncurkan R-20.
R-20 didukung penuh oleh pemerintah Indonesia, dan juga beberapa ormas keagamaan dalam dan luar negeri. Secara khusus, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, mendukung penuh R-20. Sejumlah menteri kabinet akan berpartisipasi dalam R-20, termasuk Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama Indonesia. Dalam pelaksanaannya, NU akan bekerjasama dengan Liga Muslim Dunia (Muslim World League), yang berkantor pusat di Mekkah, Arab Saudi. Shaykh Mohammad bin Abdulkarim Al-Issa, Sekretaris Jenderal Liga Muslim Dunia, akan bertugas sebagai ketua bersama R-20. Diharapkan, KTT R-20 berikutnya akan berlangsung di India, dan selanjutnya Brasil yang akan menjadi presiden G-20 periode berikutnya.
Dalam pertemuan perkenalan R-20 di Hotel Ritz Carlton (5/9) Jakarta, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), menyatakan bahwa R-20 sebagai satu wahana pertemuan internasional bagi para pemuka agama dari G-20, dan juga beberapa undangan terkait sebagai satu upaya untuk ‘membendung ide-ide radikal agama dan ekstremisme dan mempromosikan moderatisme’.
Gus Yahya melanjutkan, R-20 bertujuan menjamin agama di abad ke-21 dapat berfungsi sebagai satu solusi yang dinamis dan murni ketimbang sebagai masalah. Sebagai sebuah platform global, R-20 mengajak para pemimpin agama dan bangsa dari G-20, untuk mengekspresikan pelbagai keresahan mereka, dan turut serta menyuarakan nilai-nilai moral, serta mencari solusi bersama bagi persoalan kemanusiaan global dan lokal di negara masing-masing.
MI/Duta
Merumuskan peta jalan
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, akan hadir secara langsung pada 2 November 2022 nanti, seperti yang diungkapkan KH Yahya Cholil Tsaquf usai pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Negara Kamis (22/9). Pembicara lain, yang sudah menyatakan kesediaan adalah KH A Mustofa Bisri, Uskup Thomas Schirrmacher, Sekretaris Jenderal Aliansi Injili Dunia; dan Profesor Mary Ann Glendon, Profesor Hukum di Harvard Law School dan mantan Duta Besar AS untuk Tahta Suci Vatikan.
Dari rilis panitia R-20, akan ada lebih dari 200 pemimpin agama dan politik terkemuka dari Indonesia, dan di seluruh dunia yang telah mengonfirmasi partisipasi mereka di R-20. Dalam menentukan narasumber dan undangan, panitia R-20 yang merekomendasikan setelah berkoordinasi dengan Dubes dari masing-masing negara G-20, dan dikomunikasikan dengan Ketua Umum PBNU untuk pengambilan keputusan akhir.
Alasan pemilihan adalah mereka yang benar-benar pemuka agama, memiliki pengaruh di masing-masing negaranya. Karena, diharapkan mereka akan menyuarakan komunike bersama yang dihasilkan di ujung forum R-20. Selain itu, terdapat sejumlah ahli agama yang sengaja diundang untuk memperkaya, dan memberikan pencerahan pada forum pertemuan R-20 guna merumuskan peta jalan bagi kontribusi agama, untuk penyelesaian persoalan kemanusian global dan lokal masing-masing.
Pembahasan tema dalam R-20, juga tidak lagi berpusat pada pencarian titik temu. Namun, telah beranjak pada isu-isu yang berangkat dari luka agama, dan bagaimana melakukan proses penyembuhan serta menawarkan agama sebagai solusi. Tema, dan masalah utama yang akan dibahas di KTT R-20 berdasarkan informasi di web R-20 meliputi: Kepedihan Agama secara historis, Mengungkapkan kebenaran, Rekonsiliasi dan Pengampunan; Mengidentifikasi dan Merangkul Nilai-Nilai yang Dimiliki oleh Agama dan Peradaban Utama Dunia; Rekontekstualisasi Ajaran Agama yang Usang dan Bermasalah. Dan juga, Mengidentifikasi Nilai-Nilai yang Perlu Kita Kembangkan untuk Memastikan Kerja Sama yang Damai; dan Ekologi Spiritual.
R-20, hemat penulis, telah menggunakan kata Religion (agama) adalah sebuah pilihan rasional untuk membedakannya dengan faith (keyakinan), meskipun dua istilah acap dipertukarkan, yang merangkul semua jenis kepercayaan yang ada. Representasi agama yang hadir di R-20, mewakili pengikut agama dalam jumlah besar di dunia. Karena itu, R-20 tampaknya akan mengundang perwakilan agama-agama besar di dunia seperti Islam, Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha, dengan tidak bermaksud menafikan agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan lainnya.
Pertemuan R-20 dapat dimaknai sebagai salah satu wadah untuk melengkapi forum dan organisasi serupa, yang telah dan sedang mencari penyelesaian persoalan kemanusiaan, di antaranya melalui agama dan kepercayaan. Lalu, apa perbedaan dan persamaan R-20 dengan Interfaith Forum (IF) 20. Dalam hal ini, R-20 akan lebih fokus pada aktor pemuka agama yang berpengaruh di dunia, sedangkan Interfaith Forum (IF) G-20 acap menghadirkan praktisi, aktivis dan akademisi tingkat dunia.
Isu yang dikaji R-20, lebih berkonsentrasi pada upaya menempatkan agama secara mondial sebagai solusi daripada masalah, dengan mengangkat problema internal dalam agama, dan relasi antaragama dan menerbitkan pemecahan bagi persoalan kemanusiaan. Sedangkan, IF-20 berkisar pada isu titik temu agama dalam mengatasi pelbagai persoalan kemanusiaan. Dan juga, isu-isu keduniawian lainnya, seperti perubahan iklim, kemiskinan, lingkungan, keadilan dan sebagainya. Namun, keduanya diandaikan memperkuat satu sama lain untuk menghadirkan agama sebagai solusi. Tidak saling menafikan.
R-20 dan dialog antaragama
Bagaimana kita melihat R-20 dalam kerangka teori Dialog Antaragama? Secara teoritis, ada beberapa model dan paradigma dalam dialog antaragama. Smith (2011) menjelaskan sembilan model diskusi dialog antar-agama. Misalnya, model ‘persuasi’ adalah model konservatif karena tidak mempromosikan pemahaman untuk menghormati pemahaman ‘yang lain’. Contoh lain, Model ‘Get to Know You’: ‘jenis dialog yang paling aman’, oleh karena mengundang Muslim atau Kristen untuk menjelaskan apa yang ingin diketahui para peserta.
Sementara itu, ada tiga paradigma atau orientasi utama terkait perubahan yang terjadi melalui dialog: teologis, politik, dan pembangunan perdamaian. Sederhananya, dialog teologis berkembang dalam studi agama atau teologi, dialog politik dalam ilmu politik dan hubungan internasional; dan, dialog pembangunan perdamaian terkait transformasi konflik.
Dialog antaragama berbasis teologi yang tradisional, bertujuan untuk memahami para ulama, tokoh agama akar rumput, dan teolog, yang biasanya berbentuk makalah pertukaran, diskusi, panel tematik, dan pelatihan. Tujuannya adalah untuk memahami “yang lain”. Mungkin kelemahannya, tidak membahas aspek politik yang sering menjadi dasar konflik yang terjadi.
Sedangkan, dialog politik agama bertujuan untuk menghasilkan koeksistensi, atau harmoni sosial serta meningkatkan legitimasi aktor dan proses politik yang dirasakan. Dialog antaragama, berdasarkan pembangunan perdamaian, bertumpu pada model dialog sebelumnya, tetapi bergantung pada resolusi dan transformasi konflik. Dialog agama yang disebut terakhir memiliki empat tujuan: mengubah sikap dan persepsi orang lain, membangun rasa hormat dan saling pengertian, memperluas partisipasi dalam kegiatan pembangunan perdamaian. Dan, membangun kerangka kerja bersama untuk tindakan yang membahas akar konflik.
Kalau kita menelisik R-20 dari segi asal gagasan, tujuan, format kegiatan, pembicara dan materi yang akan didiskusikan, maka R-20, hemat penulis, dapat dikategorisasikan sebagai dialog antaragama yang bergantung pada resolusi dan transformasi konflik. Tidak lagi dialog antaragama yang out of date, sedangkan IF G-20 lebih tepat dikategorikan dalam dialog politik karena mencoba pemecahan masalah melalui politik.
Sebagai kesimpulan, R-20 mempromosikan moderatisme global, termasuk di dalam dan di antara masyarakat agama. R-20 berupaya menumbuhkan koeksistensi damai dengan menangani agama dan bentuk-bentuk ekstremisme sekuler. Karena itu, agama dapat memainkan peran yang konstruktif dan vital dalam membangun masyarakat yang damai dan adil dengan mempromosikan nilai-nilai mulia yang terinspirasi oleh agama.