23 September 2022, 05:10 WIB

Beban Belajar Anak


Anggi Afriansyah Peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN | Opini

Ilustrasi
 Ilustrasi
 

JIKA sedang menemani anak belajar, saya merasa bahwa beban anak-anak belajar semakin berat. Dunia memang semakin kompleks. Tuntutan peningkatan kapasitas untuk memasuki dunia kerja semakin banyak. Apalagi jika ingin masuk ke pasar kerja, terlihat sekali begitu kompetitif.

Cobalah tengok sesekali situs yang menyediakan lowongan pekerjaan. Lihat di bagian persyaratan yang harus dilengkapi pelamar. Apa yang dibutuhkan antara lain kualifikasi akademik minimal sarjana, memiliki keterampilan berbahasa, baik dalam tulis maupun bicara (minimal bahasa Inggris), menguasai teknologi, kemampuan kerja sama dalam tim, dan pengalaman kerja. Hal tersebut poin minimal yang dipersyaratkan dalam lowongan pekerjaan yang disediakan. Ada poin tambahan lain yang bergantung pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan. Semakin besar gaji yang ditawarkan semakin tinggi tuntutan kualifikasi yang disyaratkan.

Jika berkaca pada situasi tersebut, hal itulah yang kemudian menyebabkan dunia pendidikan, terutama formal, mencoba memasukkan ragam persyaratan yang dibutuhkan di dunia kerja ke ruang pendidikan kita. Baik pendisiplinan sejak dini, seperti masuk di pagi hari dan pulang di siang atau sore hari, maupun pemberian tugas dan proyek yang banyak, diharapkan menjadi ruang pembiasaan bagi anak-anak untuk persiapan masuk di jenjang pekerjaan. Dunia pekerjaan tentu memilih para pekerja yang lebih disiplin, cakap/terampil, serta berpengetahuan.

Ruang pendidikan, terutama formal, kemudian memasukkan ragam pengetahuan dan keterampilan yang menyesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja. Karena itu, link and match tidak semata untuk pendidikan kejuruan, tetapi juga pendidikan umum. Yang repot, sering kali apa yang sebetulnya belum tentu menjadi kebutuhan setiap anak berupaya dijejalkan secara merata kepada setiap anak. Kecenderungan mendidik secara seragam pun tidak terhindarkan. Semua anak harus bisa semua pelajaran dan memahami materi yang diberikan guru di kelas. Orangtua merasa tertekan ketika anak tidak menguasai materi pelajaran atau tugas yang diberikan guru di sekolah.

 

Lelahnya belajar

Belajar memang melelahkan. Bahkan, Imam Syafi’i dalam kata-katanya yang begitu populer menyebut, “Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan.” Apa yang disampaikan Imam Syafi’i tersebut tentu sangat tepat. Namun, jika tidak didesain guru secara menyenangkan, proses belajar yang melelahkan tersebut akan semakin berat. Ketika belajar sudah diartikan beban, anak-anak tidak akan mereguk kesenangan ilmu pengetahuan.

Apakah memahami konsep-konsep dan praktik beragam pelajaran itu mudah? Tentu tidak. Perlu kecerdasan baik akademik, sosial, maupun emosional. Tidak semua hal juga dapat dikusai dengan mudah oleh semua anak. Apalagi, jika dikaitkan dengan asupan nutrisi yang berbeda antaranak. Juga terkait dengan dukungan orangtua di rumah. Akan kita temukan lebih banyak ketimpangan yang ada di Indonesia. Orangtua yang memiliki kemampuan akademik yang memadai dapat mendampingi anak-anak mereka. Orangtua yang tidak punya waktu, tetapi memiliki kapital dapat menitipkan anak mereka kepada guru privat atau lembaga-lembaga kursus. Lalu, bagaimana orangtua yang tidak memiliki kemampuan akademik atau kapital yang memadai? Mereka tentu berharap sepenuhnya pada pendidikan di sekolah.

Penjelasan Kemmis (2004) mengenai the intergenerational reproduction of disadvantage di kalangan indigenous people di Australia dapat menjadi gambaran bagaimana kondisi kehidupan orangtua menjadi potret kondisi kehidupan bagi anak-anak di berbagai bidang kehidupan mereka (Understanding Education, Kemmis dan Edwards-Groves, 2018). Dalam paparan tersebut, dijelaskan beberapa variabel yang ada di orangtua dan berpengaruh kepada kehidupan anak, yaitu terkait dengan harapan hidup yang rendah, kondisi kesehatan yang buruk, kondisi rumah yang tidak memadai, dan tingkat pelecehan dan kekerasan di rumah yang tinggi. Lalu, hukuman pidana yang tinggi, angka pengangguran yang tinggi, pendapatan keluarga yang rendah, dan rendahnya pendidikan formal.

Poin-poin itu sangat relevan dengan kondisi orangtua di mana pun. Jika kembali ke pembahasan awal terkait dengan beban belajar, sudah jelas anak-anak dari keluarga yang memiliki keterbatasan akan semakin tertinggal dengan beban belajar yang berat karena tidak ada dampingan memadai.

Bisa jadi, seperti yang disebut Abhijit V Banerjee dan Esther Duflo di Poor Economics, bahwa ada anak-anak yang berpotensi menjadi profesor ekonomi atau ahli di industri gagal dan tumbang karena mereka lahir jadi anak miskin dan putus sekolah. Mereka gagal karena orangtua yang menyerah terlalu cepat, guru yang tidak mencoba mendidik lebih baik, dan mereka malu karena miskin. Betapa banyak korban itu di sekitar kita, mereka yang begitu cemerlang, tetapi terseok-seok dalam kehidupan hanya karena tak memiliki akses memadai terhadap pendidikan/pelatihan serta informasi dan teknologi.

 

Benih harapan

Ruang pendidikan ialah benih harapan dan ruang tumbuh bagi anak-anak bangsa yang setara untuk belajar tentang diri dan lingkungan sekitarnya. Beban belajar anak yang terfokus pada isu akademik dalam porsi tertentu akan menyisakan ruang yang amat sedikit bagi anak untuk belajar tentang kehidupan alam dan sosial yang ada di sekitarnya. Anak kehabisan waktu sekadar untuk bermain dengan tetangga di rumah karena harus mengerjakan berbagai beban tugas yang dibawa dari sekolah.

Apakah semua anak dapat melalui kesulitan dan kelelahan dalam belajar tersebut? Apakah semua anak menjadi sukses di masa depan ketika sudah belajar dengan disiplin, taat dan patuh pada guru, dan selalu mengerjakan tugas? Bisa jadi. Namun, bisa jadi tidak. Dalam hidup banyak hal yang menentukan keberhasilan anak-anak. Itu juga akan bergantung pada indikator apa yang digunakan untuk mengukur keberhasilan tersebut.

Dalam konteks saat ini, ketika isu mental health semakin mengemuka, yang patut dipertanyakan, apakah anak-anak ini akan menjadi sosok yang bahagia setelah melalui rangkaian proses belajar yang melelahkan tersebut? Apakah medan juang yang ditempuh akan berakhir pada anak-anak yang bahagia? Atau belajar hanya meninggalkan luka mendalam yang membuat belajar menjadi momok yang menakutkan bagi anak-anak sehingga mereka menganggap belajar selesai ketika mereka menyelesaikan jenjang akademik. Hal tersebut tentu problematik.

Belajar tidak pernah selesai. Mental belajar, sederhananya ingin mengetahui, memahami, dan dapat mempraktikkan sesuatu, harus tetap menyertai setiap manusia sampai kapan pun. Itulah modalitas untuk membangun peradaban.

BERITA TERKAIT