06 August 2022, 05:15 WIB

Tantangan dan Peluang Era Penjaminan Produk Halal


Ilma Nugrahani Dosen Sekolah Farmasi ITB, Kepala Pusat Kajian Halal Institut Teknologi Bandung (PKH ITB) | Opini

MI/Duta
 MI/Duta
Ilustrasi MI

KEBERADAAN Undang-Undang (UU) No 33 Tahun 2014 tentang Penjaminan Produk Halal bertujuan melindungi konsumen sekaligus memberikan pedoman kepada produsen dan distributor. UU tersebut menjadi payung hukum yang tegas dengan asas keamanan, keadilan, dan keterbukaan bagi seluruh masyarakat Indonesia sekaligus sebagai wahana menuju Indonesia sebagai produsen halal nomor satu di dunia.

Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Agama RI No 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal, Pasal 32 dan 33 menyebutkan bahwa seluruh produk pangan dan minuman wajib telah bersertifikat halal sampai batas waktu 2024. Kemudian disusul dengan produk, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT), jamu tradisional, dan suplemen pada 2026. Selanjutnya diikuti obat bebas dan obat bebas terbatas hingga 2029, dan obat keras 2034.

Dari perspektif sosial kemasyarakatan, sertifikasi halal ialah suatu keniscayaan mengingat mayoritas penduduk dunia ialah muslim. Di sisi ekonomi, produk dengan label halal tentu lebih mampu bersaing dan bisa dipasarkan secara lebih luas, bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri. Sebagai contoh, tahun ini, di Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) terdaftar kurang lebih 150 ribu produk pangan, 230 ribu kosmetik, 15 ribu produk obat tradisional/herbal, dan 22 ribu produk obat. Sementara itu, PKRT yang didaftarkan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ada sekitar 30 ribu item. Secara rerata, 25%-50%-nya ialah produk impor dengan status kehalalan yang belum jelas. Jika produk dalam negeri kita telah disertifikasi, kemungkinan dapat merebut pangsa pasar produk impor.

 

Pilar ketangguhan industri halal

Setidaknya ada dua pendekatan untuk menegakkan kehalalan, yaitu menggantikan bahan nonhalal dengan bahan halal dan mengembangkan metode analisis/standar pengujian untuk autentikasi halal. Dari kajian kami, pengawasan kehalalan dengan pengujian akan lebih banyak memakan waktu, tenaga, dan biaya. Di samping itu, dibutuhkan ketersediaan perangkat, reagen, keterampilan/skill analis baik dalam tahap pengembangan maupun penggunaannya. Oleh karena itu, pengujian di titik akhir atau end-time analysis menjadi kurang efisien dan efektif. Apalagi jika akhirnya ditemukan ketidakhalalan sehingga seluruh produk yang dihasilkan terbuang sia-sia.

Pada dasarnya, kehalalan bisa dirancang sejak awal dengan menyediakan bahan baku halal, proses produksi, pengemasan, penyimpanan, distribusi, cara penyerahan dengan manajemen dan sistem penjaminan halal yang terencana, reliable, dan cermat untuk menghindari kegagalan produk. Dengan perencanaan dan sistem jaminan halal yang baik, kontaminasi bahan nonhalal dapat dihindari dan pengawasan akan menjadi lebih efisien dan efektif.

 

Peluang dan tantangan 

Konsep halal by design indah terdengar, tapi sangat menantang untuk dilakukan. Mengapa? Karena syarat utamanya ialah penggunaan bahan baku halal. Padahal, secara umum bahan baku khususnya untuk kosmetik, PKRT, suplemen, dan obat masih didominasi produk impor. Saat ini negara kita banyak mengimpor bahan baku dari Amerika, Eropa, India, Tiongkok, Jepang, dan Korea; negara-negara yang notabene tidak memiliki banyak penduduk muslim. Dengan begitu, bisa dimaklumi jika mereka tidak concern terhadap kehalalan.

Dari situasi dan kondisi saat ini, tantangan apa yang harus dijawab dan peluang apa yang bisa kita manfaatkan? Pertama, pemanfaatan dan penggunaan bahan nabati dengan peningkatan budi daya pertanian/perkebunan yang dapat memasok bahan-bahan untuk produk yang tidak kritis terhadap kehalalan. Kedua, mempercepat pengembangan bahan baku kimia obat dengan mekanisme/tahapan yang halal dengan mengeliminasi bagian-bagian kritis kehalalannya.

Ketiga, melakukan pendampingan industri mikro dan kecil karena data menunjukkan bahwa ekonomi dan perdagangan di Indonesia didominasi pelaku usaha mikro/kecil. Keempat, menyiapkan sumber daya manusia terlatih dalam waktu. Dalam sistem penjaminan ada empat macam sumber daya manusia, yaitu pendamping proses produk halal (PPH) untuk membantu usaha mikro dan kecil (UMK) mengurus sertifikat halal secara self-declare, penyelia halal yang menjadi bagian dari manajemen penjaminan kualitas di industri, auditor halal yang bekerja di lembaga-lembaga pemeriksa halal, serta asesor lembaga pemeriksa halal (LPH) yang menilai kelayakan dan pemantauan suatu LPH. Empat posisi tersebut menjadi amanah sekaligus peluang bagi masyarakat luas, khususnya insan di perguruan tinggi.

Kelima, membangun big data sebagai suatu sumber informasi yang terintegrasi tentang segala sesuatu yang mendukung proses dan pemasaran produk halal yang mudah diakses baik oleh produsen maupun konsumen. Sumber informasi digital yang terintegrasi dapat mendukung perkembangan startup maupun industri.

 

Posisi perguruan tinggi

Positioning ialah langkah penting dalam membangun kolaborasi antarlembaga dan institusi. Perguruan tinggi memiliki amanah menjalankan tridarma, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Oleh karena itu, perguruan tinggi memiliki para ahli yang mumpuni di samping laboratorium pendukung pendidikan dan penelitian. Institusi itu menjadi tempat yang sangat subur dan strategis untuk melakukan pembinaan, penelitian, pengembangan ide, dan konsultasi.

Di bidang pendidikan, penyampaian materi tentang penjaminan halal dapat disampaikan baik sebagai mata kuliah khusus maupun sebagai bagian dari perkuliahan yang sudah ada. Sebagai contoh, sekolah farmasi telah mengadakan mata kuliah halal di bawah kelompok keahlian farmakokimia. Mata kuliah tersebut sangat diminati baik oleh mahasiswa dalam fakultas yang sama maupun dari fakultas bahkan universitas lain.

Di samping itu, riset tugas akhir mahasiswa juga dapat diarahkan untuk mengembangkan produk halal maupun metode autentikasi halal. Selanjutnya, dalam program pengabdian masyarakat dapat dilakukan pembinaan kepada produsen UMK maupun mahasiswa dan dosen yang berminat untuk terlibat secara langsung dalam sertifikasi halal. Baik perkuliahan, penelitian, maupun program pengabdian masyarakat tersebut dapat digandengkan dengan program merdeka belajar.

Pusat Kajian Halal (PKH) ITB ialah kumpulan multidisipliner yang didirikan untuk mengkaji dan mendukung riset dan pengembangan produk halal. Selama dua tahun terakhir, PKH ITB telah mengadakan beberapa kali webinar nasional dan internasional, berkolaborasi dengan lembaga, kementerian, maupun perguruan tinggi lain. PKH ITB juga telah mengirimkan beberapa anggota untuk pelatihan asesor LPH yang mulai bertumbuh di seluruh negeri.

Selain itu, menyambut program Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk mendukung self-declare halal UMK, PKH ITB telah mengirimkan beberapa anggotanya untuk turut dalam training of trainer (TOT) PPH dan selanjutnya mendirikan lembaga proses produk halal (PPH). Sebagai konsekuensinya, baru-baru PKH ITB membuka pelatihan dan sertifikasi gratis pendamping PPH dengan pendanaan bottom-up dari program pengabdian masyarakat-LPPM ITB.

Kegiatan tersebut didukung BPJPH dan Dirjen SDPPI-Kemkominfo. Pelatihan dibuka Ketua Lembaga Pengembangan Ilmu dan Teknologi (LPIT) ITB Prof Ir Taufan Marhaendrajana MSc PhD, dilanjutkan dengan materi pembuka dari Kepala PKH ITB Dr apt Dr Ilma Nugrahani MSi. Program itu diikuti secara antusias oleh lebih dari 200 peserta dari seluruh penjuru Tanah Air dengan berbagai strata dan latar belakang keilmuan yang berjalan selama tiga hari penuh (27-29 Juli 2022).

Pemateri yang berasal dari BPJPH dan PPH ITB ialah Prof Dr Slamet Ibrahim, Prof Dr Zeily Nurachman, Dr HA Umar (BPJPH), Dr Penia Kresnowati, Dr Swarisoma Virildi, Dr M Yudhistira, Dr Catur Riani, dan Dr Nova Yuliska. Pelaksanaan didukung segenap tim PKH dan PPH ITB yang berasal dari tenaga pengajar muda, tenaga kependidikan, dan beberapa mahasiswa doktoral. Kegiatan tersebut direncanakan akan dilanjutkan dengan praktik pendampingan PPH kepada UMK sekitar.

BERITA TERKAIT