KETUA Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengungkapkan kasus pornografi pada anak menduduki peringkat ketiga setelah kekerasan fisik dan kekerasan seksual.
Berdasarkan survei yang dilakukan KPAI, anak yang menggunakan gawai di luar kepentingan belajar 1-2 jam per hari sebanyak 36,5%. Anak yang menggunakan gawai 2-5 jam sebanyak 34,8%. Sementara, anak yang menggunakan lebih dari 5 jam sehari sebanyak 25,4%.
Dengan melihat data itu, Susanto mengingatkan perlu adanya edukasi dan pengawasan terhadap anak. “Mau tidak mau memang anak kita sekarang harus menggunakan gawai. Karena situasi pandemi memaksa itu. Seiring dengan keterpaksaan itu, kasus-kasus kejahatan terhadap juga berubah polanya. Hal ini dimanfaatkan jaringan kejahatan digital untuk menyasar anak di ruang yang berbeda,” kata Susanto dalam diskusi Peringatan Hari Anak Nasional, Sabtu (23/7).
Susanto juga membeberkan sebanyak 26% anak ternyata mengakses konten kekerasan melalui gawai mereka. Konten seperti ini didapatkan dari game online, tayangan di youtube, Tiktok maupun aplikasi media sosial lainnya.
Ia menyampaikan, beberapa kajian menyebutkan kepribadian anak itu terbentuk dari lingkungan, dan lingkungan itu bisa dibentuk dari manusia. Jika dikaitkan dengan kejahatan digital, anak yang terlalu sering terpapar dengan dunia kekerasan, peperangan, rentan menjadi pelaku bully (perundungan).
"Sebab, anak setiap hari melihat konten seperti itu. Perlu ditelaah juga nih para orang tua bagaimana pola asuhnya, game online apa yang dimainkan dan sebagainya,” ujar Susanto.
Kepada pemerintah, KPAi minta Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak segera direvisi, dengan memasukkan poin perlindungan khusus anak korban siber. Sebab, KPAI memprediksi kasus-kasus kejahatan siber akan terus meningkat karena kerentanan anak juga semakin tinggi.
“Hemat kami pada revisi ke depan penting diatur dalam UU No 35 tahun 2014 yang nanti katanya akan direvisi, mudah-mudahan di periode teman-teman yang akan menjabat nanti. Satu komponen yang harus juga diperhatikan adalah implementasi, yang penting mengawal bagaimana ada bangunan baru di norma kita, di kebijakan perlindungan kita, ini harus dikawal dengan baik,” tutur Susanto.
Minim data
Sementara itu, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, & Olahraga Bappenas, Woro Srihastuti menuturkan masalah kejahatan siber maupun kejahatan jenis lain pada anak ini sangat komprehensif dan multisektor. Karenanya, dia mengatakan perlu membangun sinergi dan koordinasi yang kuat, tidak hanya dari pemerintah tetapi juga nonpemerintah dan masyarakat sipil.
“Kita harus bekerja bersama untuk perlindungan anak ini. Yang paling penting bagi kita untuk menyiapkan sistem data yang kuat. Karena ini yang akan menjadi dasar kita dalam menyiapkan intervensinya,” ujar Woro.
Ia melanjutkan, kasus kekerasan anak disebut-sebut sebagai fenomena gunung es. Tapi, siapa saja kelompok rentan dan perlu diberi bantuan, tidak diketahui karena minim data.
"Kalau kita tidak punya basis data yang kuat, ini akan menjadi suatu hal yang sulit sekali menyiapkan intervensi pencegahan dengan cepat,” tambah dia.
Terakhir Woro mengingatkan agar yang perlu dikuatkan pemahamannya dalam mengedukasi anggota keluarga bukan hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Masyarakat baik itu laki-laki atau perempuan sama dan harus diberikan pemahaman pentingnya perlindungan anak.
“Laki-laki maupun perempuan itu sama, sebagai pendidik anak-anak kita. mereka adalah pengasuh anak-anak kita. ini yang harus kita perkuat. Pemahaman ini yang harus kita sampaikan kepada seluruh masyarakat. Itu suatu hal yang sangat penting sekali,” tandasnya.
Maraknya jenis kejahatan terhadap anak di ruang digital ini, kata Deputi 4 Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Femmy Eka Putri Kartika telah diupayakan pencegahannya melalui berbagai regulasi.
“Pemerintah sebetulnya telah hadir. Negara ini nggak kurang-kurang membuat payung hukumnya untuk memastikan anak-anak ini betul-betul terlindungi dari kekerasan. Intinya adalah pencegahan itu dari keluarga, kemudian masyarakat,” ungkap Femmy.
“Keluarga ini harusnya kita dorong edukasi terkait moral, etika dan budaya, kemudian membangun kualitas komunikasi kepada anggota keluarga harus membangun ikatan emosional karena pada saat ini kondisi sekarang anak-anak merasa banyak orang tua yang tidak mendengarkan mereka. Orang tua tidak mengerti masalah remaja,” tambah dia.
Berbagai regulasi yang dimaksud Femmy ialah UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan yang terbaru Perpres No. 101 Tahun 2022 tentang Stranas Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak. (H-2)