TIMBULAN sampah elektronik di Indonesia diprediksi mencapai 3.200 kiloton pada 2040 mendatang. Dengan kata lain, setiap orang menyumbangkan sebanyak 10 kilogram sampah elektronik dalam satu tahun. Hal itu dingkapkan dalam penelitian PhD Candidate for Recycling Electronic Waste Aulia Qisthi.
"Angka ini meningkat dibanding data pada 2020 yang timbulan sampah elektroniknya mencapai 1.862 kiloton dengan rata-rata setiap orang menghasilkan sampah elektronik sebanyak 6,88 kilogram," kata Aulia dalam diskusi bertajuk Sampah Elektronik: Peluang, Tantangan dan Nilai Ekonomi di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat, Rabu (15/6).
Aulia mengungkapkan, angka-angka tersebut didapatkan dari data impor barang elektronik yang masuk ke Indonesia dan produksi elektronik Indonesia selama 30 tahun ke belakang.
Baca juga: Estimasi Keberangkatan Haji Makin Lama, Ini Kata Kemenag
Baca juga: Inisiatif Pembentukan RUU KIA Mendapat Apresiasi
Adapun, distribusi limbah elektronik terbanyak ada di Jawa 56%, Sumatra 22%, Sulawesi 7%, Kalimantan 6%, Maluku 1% dan Papua 2%.
Dengan potensi timbulan sampah elektronik yang sedemikian besar, Aulia mengungkapkan, penanganan sampah elektronik di Indonesia tidak bisa lagi menunggu. Selain untuk mengurangi timbulan, pengelolaan sampah elektronik juga bisa menghasilkan berbagai keuntungan.
Pertama, dari segi ekonomi. Dari jumlah timbulan sampah elektronik yang ada pada 2020, Aulia menghitung Indonesia bisa mendapatkan keuntungan US$1,8 miliar jika melakukan daur ulang sampah elektronik.
Selain itu, pengelolaan setiap 1 ton sampah elektronik juga bisa mengurangi 1.400 ton CO2, sehingga dapat mengurangi reduksi karbon.
"Potensi-potensi ini sangat menarik sehingga kita harus secepatnya melakukan integrasi pengelolaan limbah elektronik," pungkas dia.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar mengakui bahwa pengaturan limbah elektronik di Indonesia merupakan hal baru.
"Sampah elektronik yang dari rumah tangga selama ini memang tidak ada pengaturannya. Biasanya dicampur sampah rumah tangga lalu dibawa ke TPA. Baru 2020 kita punya regulasi. Sehingga itu milestone yang penting buat kita," beber dia.
Regulasi tentang pengelolaan sampah elektronik, kata dia, tertuang dalam undang-undang nomor 18 tahun 2018 tentang Pengeloaan Sampah dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam hal ini, Novrizal menyatakan, produsen, pemerintah daerah dan masyarakat harus bekerja sama untuk melakukan pengelolaan limbah elektronik yang ada di Indonesia saat ini.
"Semua produsen harus punya take back dan publik pun harus tahu kita beli produk-produk yang memang produsen yang punya program take back. Kalau gak punya, kurangi konsumsi dengan pihak yang seperti itu," ungkap dia.
Saat ini pun, KLHK tengah membangun pilot project pengelolaan sampah elektronik di 20 kota di Indonesia untuk kemudian diikuti oleh wilayah-wilayah lain.
"Ada 20 kota di Indonesia kita jadikan pilot plan dulu. Pertama Jakarta dengan anglomerasinya. Sehingga kalau itu sudah berjalan kita bisa melakukannya secara nasional. Kita kan punya 514 kabupaten kota, ngga mudah menerapkan ini karena ini sesuatu yang baru," pungkas dia. (H-3)