30 May 2022, 08:50 WIB

Ketidakseimbangan Hukum Atas Ralat Surat Ketetapan Pajak


Richard Burton, Alesandro Rey | Surat Pembaca

dok.pribadi
 dok.pribadi
Richard Burton, Dosen FH Univ. Tarumanagara Jakarta (kiri), Alessandro Rey, Dosen FH Univ. Sahid, Jakarta (kanan)

KETIDAKSEIMBANGAN hukum acara di persidangan Pengadilan Pajak menuai ketidak adilan ketika ketentuan Pasal 16 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No. 28/2007 (UUKUP) yang memberi kewenangan kepada Dirjen Pajak melakukan pembetulan/ralat atas keputusan keberatan karena kesalahan tulis/hitung, diterima sebagai pijakan dasar putusan oleh Hakim.

Dari sisi hukum, kesalahan tulis atau kesalahan hitung produk hukum keputusan, penting diperbaiki untuk tertib administrasi serta kepentingan kepastian hukum. Namun, problem ketidakseimbangan hukum muncul ketika kewenangan dijalankan saat proses hukum banding sudah berjalan. Akibatnya, posisi hukum Wajib Pajak menjadi tidak equal (setara) dengan otoritas pajak.

Ketidakseimbangan hukum diketahui dalam Putusan Banding Pengadilan Pajak No. 005654.10/2020/PP/MXIIIA tahun 2021. Karena Hakim memutuskan kasus bukan lagi atas dasar surat keputusan keberatan yang diajukan banding, tetapi atas dasar surat keputusan pembetulan keberatan.

Padahal, kedua surat, Surat Keputusan Keberatan danSurat Pembetulan Keputusan Keberatan,  merupakan dua dokumen hukum yang terpisah sekalipun memiliki kesamaan isi. Kepastian akan putusan Hakim menjadi rapuh disebabkan tidak jelasnya hukum acara persidangan yang berjalan di persidangan.

Ketidakseimbangan Hukum

Kasus bermula saat terhadap PT. ABC diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Pasal 21 yang kemudian oleh Wajib Pajak diajukan upaya keberatan. Selanjutnya, Ditjen Pajak menerbitkan Keputusan Keberatan dengan judul SKPKB PPNtetapi perhitungannya mengenai PPh Pasal 21. Disinilah muncul masalah hukum adanya ketidakbenaran Keputusan Keberatan.

Kesalahan administrasi mestinya dilakukan pembetulan terlebih dahulu. Akan tetapiWajib Pajak mengajukan upaya Banding ke Pengadilan Pajak atas keputusan yang judulnya tidak salah.Setelah proses hukum Banding berjalansekitar 10 bulan, barulah Ditjen Pajak menerbitkan surat Pembetulan Keputusan Keberatan sesuai Pasal 16 UUKUP.

Terbitnya surat Pembetulan dimaksud menimbulkan dua pertanyaan, pertama, apakahupaya Banding dapatdimaknaikeputusan keberatandianggapbenar? Kedua, apakahboleh Hakim menerima surat Pembetulan Keputusan Keberatan ketikaproses hukum Bandingsudahberjalan beberapa bulan?

Dalam analisis kami, ketika Wajib Pajak mengajukan Banding, yang dipersoalkan bukanlah mengenai kesalahan formal atas surat yang salah melainkan mengenai kesalahan material atau substansi. Hakim Pengadilan Pajak boleh jadi kurang mempedulikan kesalahan tulis atas keputusan keberatan yang diajukan Banding, sehingga proses hukum berjalan terus.

Terbitnya surat Pembetulan Keputusan Keberatan mestinya dilakukan sebelum terjadi proses Banding, namun Pasal 16 UUKUP tidak mengaturnya. Disisi lain, jika inisiatif melakukan pembetulan berasal dari Wajib Pajak, dalam waktu 6 bulan harus terbit pembetulanya, jika tidak, pembetulan dianggap diterima.

Tidak diaturnya batas waktu penerbitan pembetulan selain atas dasar permohonan Wajib Pajak, berakibat hukum pada ketidakseimbangan sekaligus ketidakpastian bagi Wajib Pajak. Bahkan, semakin tidak memberi keseimbangan ketika Hakim menerima surat pembetulansaat Banding sudah berjalan cukup lama.

Keadaan ini memberi arti sepanjang Hakim belum memutuskan sengketa, Dirjen Pajak boleh melakukan pembetulan untuk disampaikan kepada Hakim. Padahal, ketika Dirjen Pajak menerbitkan surat pembetulan, Wajib Pajak punya hak mengajukan upaya hukum Gugatan atas surat Pembetulan dimaksud jika merasa kepentingan hukumnya dirugikan.

Itu sebabnya, hukum acara persidangan Pengadilan Pajak perlu dilakukan pengujian untuk kepastian hukumnya. Hukum acara persidangan harus jelas dan tidak boleh ‘disepelekan’. Hukum acara dibutuhkan guna menghindari tindakan hukum sewenang-wenang dari Hakim maupun Pemerintah dalam menjalankan hukum (UU).

Kalau begitu, apa implikasi hukum dari putusan Hakim Pengadilan Pajak yang didasarkan pada hukum acara yang tidak jelas? Apakah Putusan Hakim menjadi sah atau tidak sah? Ketika persoalan hukum acara tidak memberikan ketidakseimbangan hukum, maka muncul ketidakadilan.

Keadilan Pajak

Persoalan keadilan terkait upaya hukum acara keberatan maupun bandingmesti dijalankan secara ketat sesuai asas legalitas yang diatur dalam UU beserta turunannya. Prosedur atau tatacara persidangan pada tiap tahapan upaya hukum, mesti dipatuhi. Jika tidak dipatuhi, produk hukum yang diterbitkan menjadi tidak sah.

Norma UU Administrasi Pemerintahan No. 30/2014, khususnya norma Pasal 17, Pasal 18 serta Pasal 70 sudah mengingatkan tata laksana pengambilan keputusan oleh badan atau pejabat pemerintahan beserta risiko hukumnya guna memberi perlindungan hukum kepada warga masyarakat. Prosedur hukum mesti didasarkan pada asas legalitas dan asas umum pemerintahan yang baik.

Terlebih bagi Hakim yang memutus sengketa patut memahami kondisi masih banyakmasyarakat (Wajib Pajak) kurang memahami hukum acara persidangan. Hakim dalam putusannya patut mempertimbangkan keseimbangan hukum supaya putusan tidak merugikan kepentingan hukum salah satu pihak berperkara.

Keadilan melalui putusan Hakim menjadi harapan publik pada setiap perkara yang akan diputus. Kewenangan hukum Hakim memutus perkara secara adilkerap dihadapkan pada dua cara berpikir, pertama, memutus atas dasar UU semata sehingga Hakim disebut corongundang-undang (la bouche de la loi), tidak dapat menambah atau mengurangi normakarena UU satu-satunya sumber hukum.

Pilihan kedua, Hakim dituntut melakukan penemuan hukum karena hukum yang ada tidak lengkap. Penerapan hukum dijalankan dengan memperhatikan kebiasaan yang hidup di masyarakat (living law) atau melalui cara precedentseperti dinegara Anglo Saxon, sepanjang dilakukan berdasarkan nurani Hakim.

Pilihan itu tidak mudah, namun Hakim tetap berpijak pada kepastian hukum bukan kepastian UU karena hukum tidak identik dengan UU.Seperti dikatakan Oliver Holmes (1841-1935), aturan hukum hanya satu faktor yang patut dipertimbangkan hakim. Faktor moral, kemanfaatan dan kepentingan sosial jadi faktor tidak kalah penting dalam mengambil putusan.

Lagi-lagi patut disadari, kenyataan hukum (termasuk proses persidangan pajak) hanya dapat dipahami melalui pengalaman, konteks serta situasi unik yang dihadapi. Karenanya, putusan bersifat memberi keseimbangan hukum untuk keadilan, menjadi tugas mulia Hakim yang selalu dinanti para pihak.


Richard Burton, Dosen FH Univ. Tarumanagara, Jakarta. No HP: 08128735807.
Alessandro Rey, Dosen FH Univ. Sahid, Jakarta. No HP : 08111 676 999  

 

BERITA TERKAIT