ALISSA Qotrunnada Munawaroh Wahid atau yang familiar disapa Alissa Wahid ialah putri sulung dari Presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Selain itu, ia juga dikenal sebagai feminis muslim serta pegiat gerakan sosial dan pengembangan masyarakat.
Saat ini Alissa menjabat sebagai Direktur Jaringan Gusdurian Indonesia dan sebagai Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesejahteraan & Kebudayaan. Ibu 4 orang anak ini, mendirikan Jaringan Gusdurian Indonesia pada tahun 2011, sebagai gerakan masyarakat sipil yang bekerja dalam isu strategis multikulturalisme, demokrasi dan pengembangan masyarakat.
Di dalam jaringan Gusdurian tergabung individu, komunitas/forum lokal, dan organisasi yang merasa terinspirasi oleh teladan nilai, pemikiran, dan perjuangan Gus Dur. Sampai tahun 2021, Jaringan Gusdurian Indonesia berkembang di 150 kota di Indonesia dan 7 negara luar, dan menjadi rumah bersama lintas batas di tingkat lokal yang melibatkan ribuan penggerak masyarakat. Sayap organisasinya, Gusdurian Peduli, berkembang cepat menjadi perespon pertama handal dan terpercaya dalam situasi bencana sosial dan alam.
“Anggota komunitas tidak harus muslim bahkan dibeberapa tempat markas Gusdurian itu justru di rumah ibadah temen-temen yang non-muslim. Sekarang ini kita “mengkapitalisasi” Gusdur sebagai sosok untuk mempersatukan, jadi Gusdur secara fisik tidak ada tetapi sebagai sebuah simbol ini adalah sosok yang mempersatukan kelompok-kelompok berbeda ini untuk benar-benar hidup,” tutur Alissa dalam Kick Andy episode ‘Perempuan Pejuang Kesetaraan’ yang tayang malam ini.
Alissa juga mengatakan nilai, pemikiran, dan perjuangan Gus Dur tetap hidup dan mengawal pergerakan kebangsaan Indonesia; melalui sinergi karya para pengikutnya, dilandasi sembilan Nilai Gus Dur, yaitu Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Persaudaraan, serta Kesederhanaan, Sikap Ksatria, dan Kearifan Tradisi.
“Panduan perjuangan kami di Gusdurian adalah nilai-nilai yang juga melingkupi persoalan bangsa, jadi semua masalah bisa kita respon karena panduan kita adalah sebuah nilai, misalnya hari ini kita berbicara tentang kesetaraan gender dan peran perempuan. Kesetaraan yang dimaksud adalah setara dalam segala hal, jadi ada ada kesetaraan warga negara, kesetaraan dalam mengakses pendidikan, itu semuanya termasuk yang kita perjuangkan,” jelasnya.
Isu Poligami dan Janda
Mengenai kesetaraan perempuan di Indoneia, ia menilai hak-hak perempuan di ruang publik sudah lebih maju dari beberapa negara lain yang konservatif. Walaupun demikian, persoalan diskriminasi perempuan tetap ada.
Persoalan poligami adalah salah satu yang menjadi perhatian para pejuang hak-hak kseteraan perempuan. Alissa prihatin dengan komodifikasi praktek poligami.
“Akibatnya sekarang jadi dijual paket seminar (poligami) bahkan sampai disediakan calonnya kalau dibutuhkan kan itu sudah kategori human trafiking sebetulnya,”ujarnya. Ia juga prihatin dengan dogma bahwa kesediaan dipoligami adalah bukti kepatuhan istri pada suami.
Alissa dan para pejuang kesetaraan perempuan muslim di Indonesia berusaha membuka ruang diskusi sehat sehingga akan lebih membuka pola pikir masyarakat bahwa poligami bukan menajdikan perempuan sebagai objek kepuasan laki-laki saja.
Tak hanya persoalan poligami, diskriminasi terhadap janda juga menjadi perhatiannya. Perempuan janda kerap kali mendapatkan sebuah labeling sebagai perebut suami orang hingga perempuan nakal yang kerap meresahkan masyarakat.
“Sebetulnya itu adalah konstruksi masyarakat yang masih patriarki, pada dasarnya realitanya janda kan tidak seperti itu, sebagian besar janda itu justru sangat kuat karena bisa menanggung hidup keluarga besar,” tukasnya.
Ia pun mencontohkan sang nenek, Nyai Sholiha Wahid Hasyim (Ibu dari Gusdur). Meski ditinggal menjanda di usia 34 tahun, Nyai Sholiha mampu membimbing anak-anaknya hingga berhasil, termasuk Gus Dur yang sudah kehilangan sosok ayah sejak umur 12 tahun. (M-1)