KETIKA sengketa gugatan pajak muncul di ruang sidang Pengadilan Pajak diskusi hukum pajak menjadi ajang perdebatan menarik sekalipun persoalan hukumnya hanya berkisar pada prosedural formal semata. Para pihak yang bersengketa kerap berdebat pada tataran hukum sangat sederhana namun terlihat alot karena kurangnya pemahaman akan hukum.
Padahal sudah menjadi kesepakatantidak mungkin menilai materi jika prosedur formal tidak dipatuhi. Boleh jadi para pihak yang bersengketa menilai hukum acara bukan sesuatu yang penting karena bersifat administratif. Disisi lain, kesalahan prosedural toh bisa diperbaiki jika terdapat kesalahan.
Saat menghadiri sidang di Pengadilan Pajak, debat kelengkapan penulisan Surat Tugas, Surat Kuasa, bahkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak termasuk perubahannya, masih terjadi. Kalau begitu, kesimpulan sementaranya para pihak kurang peduli pada hukum acara persidangan. Tidak aneh jika kasus terus muncul pada hal-hal seperti itu.
Hukum acara adalah hukum yang menginginkan prosedur hukum dipatuhi supaya tidak menimbulkan kesewenang-wenangan dan menyalahi hukum. Hukum acara pajak penting dipahami dan dipatuhi pada tataran berfikir benar menurut hukum acara yang ada.
Implikasi Hukum
Sedikitnya dua UU menjadi acuan hukum acara persidangan di Pengadilan Pajak, UU Pengadilan Pajak No. 14 tahun 2002 (UUPP) serta UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No. 6 tahun 1983 (UUKUP). Tetapi untuk kasus tertentu, tidak bisa diabaikan keberlakuan UU lain terkait dengan sengketa yang muncul.
Contoh sederhana adalah persoalan dokumen bernama ‘Surat Tugas’ yang dalam persidangan terus diperdebatkan. Kuasa Hukum Pemohon gugatan meminta supaya Termohon (DJP) memperlihatkan Surat Tugas kepada Pemohon, tetapi Termohon menolaknya. Pertanyaannya, apakah Termohon melanggar hukum acara persidangan?
Tentu dapat dipahami bahwa Surat Tugas biasanya diterbitkan oleh atasan dari si penerima Surat Tugas, supaya si penerima melakukan tugasnya sesuai tugas yang tercantum dalam Surat Tugas. Lalu, apakah tidak diperlihatkannya SuratTugas menunjukkan tidak ada kesamaan hukum bagi para pihak, karena Surat Kuasa sudah ditunjukkan?
Esensi Surat Tugas sebenarnya merupakan dokumen hukum yang menunjukan keabsahan seseorang menjalankan tugas yang dipercayakan si pemberi tugas di persidangan. Jika pihak lawan minta memperlihatkan dan memberikan Surat Tugas, mestinya diperlihatkan sebagai bukti hukum bahwa nama yang tercantum dalam Surat Tugas benar nama yang akan menjalankan tugas.
Oleh karenanya, tidak diperlihatkannya Surat Tugas harus dikatakan telah melanggar hukum acara di persidangan, dengan 3 alasan, pertama, tidak ada kesamaan hak dimata hukum (equality before the law). Kedua, tidak ada kesamaan beban pembuktian, karena beban pembuktian hanya ditujukan kepada Kuasa Hukum membuktikan adanya Surat Kuasa. Ketiga, tidak ada transparansi, karena transparansi hanya dibebankan kepada Kuasa Hukum supaya memperlihatkan Surat Kuasa Khusus.
Merujuk Surat Edaran Ditjen Pajak (SE) No. 65/PJ/2012 tentang Tata Cara Penanganan Sidang Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak, tidak diperlihatkannya Surat Tugas bisa dimaknai ketiadaan Surat Tugas. Jika ini betul terbukti, lagi-lagi dapat dikatakan Termohon telah melanggar hukum acara persidangan.
Bahkan, penilaian hukum tidak diperlihatkannya Surat Tugas, melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Juga melanggar Pasal 84 ayat (1) huruf f UUPP hal pertimbangan dan penilaian setiap bukti dalam persidangan, serta huruf h hal alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
Artinya, implikasi hukum dari ketidaktransparanan harus menjadi pertimbangan hakim menilai setiap bukti dokumen yang diperlihatkan dalam persidangan. Implikasi hukum yang lebih berat putusan hakim menjadi tidak sah dan harus disidangkan kembali sebagaimana ditegaskan Pasal 84 ayat (2) UUPP. Kalau begitu, hukum acara menjadi penting dipahami pada makna kesetaraan hukum dalam beracara di Pengadilan Pajak.
Persoalan hukum acara bergulir lagi ketika diketahui Surat Tugas tidak mencantumkan nomor perkara serta tidak mencantumkan nomor dan tanggal panggilan sidang. Lagi-lagi penulis bertambah aneh mengapa hal demikian muncul di persidangan. Boleh jadi ini hanya sekedar kelalaian semata yang kadang dipandang tidak penting.
Menurut penulis, kesalahan dimaksud menurut hukum dapat dinilai telah melanggar hukum acara karena Surat Tugas hendak ditujukan kepada hal yang tidak jelas untuk nomor perkara yang mana dari sengketa pajak yang dirujuk untuk diselesaikan si penerima tugas. Dokumen hukum harus memiliki kejelasan hukum. Itu sebabnya Ketua Mahkamah Agung membuat Keputusan No. 032/SK/IV/2007, huruf E angka 1 yang menyatakan ‘… khusus bagi Tergugat harus menyebutkan nomor perkaranya”.
Ketika Surat Tugas tidak mencantumkan nomor perkara persidangan, penilaian hukum Surat Tugas menjadi tidak punya kejelasan hukum sehingga tidak punya kekuatan pembuktian, yang pada akhirnya putusan menjadi tidak sah sesuai Pasal 84 ayat (2) UUPP dan bisa diajukan PK ke Mahkamah Agung.
Kewenangan Penandatanganan
Persidangan pengadilan terkait gugatan kerap dinilai memiliki karateristik ‘kaku’ alias ‘rigid’ soal kebenaran dokumen yang diterbitkan, terlebih ketika Pemohon mempertanyakan mengapa dokumen berupa penjelasan tertulis yang tidak ditandatangani pejabat berwenang dijadikan fakta dalam persidangan.
Hukum sudah mengatur bahwa setiap dokumen hukum mesti ditandatangani pihak yang diberi kewenangan menurut peraturan perundang-undangan. Dalam hal dokumen seharusnya ditandatangani pihak yang diberi kewenangan namun ditandatangani pihak lain yang tidak punya kewenangan, tentu tidak sah dan harus dibatalkan karena tidak punya kekuatan hukum.
Persoalan hukum menjadi lebih serius jika membaca norma Pasal 11 UU Administrasi Pemerintahan No. 30/2014 (UUAP) supaya surat yang ditandatangani memiliki keabsahan menurut hukum, dapat ditandatangani pihak lain sepanjang pihak lain diberi delegasi kewenangan berdasarkan perundang-undangan melalui cara atribusi, delegasi atau mandat.
Jika persoalan hukumnya pada kewenangan penandatanganan, lagi-lagi SE-65/PJ/2012 sudah menegaskan ‘Penjelasan tertulis ditandatangani pejabat eselon II sebagai atasan Tim Sidang’. Jadi, ketatnya hukum acara persidangan menjadi penting supaya tidak memunculkan tindakan hukum yang salah dan menjadikan dokumen tidak sah.
Dengan kata lain, dokumen yang sudah tidak punya kekuatan hukum mengikat namun tetap dijadikan fakta persidangan lalu dimuat dalam Putusan Pengadilan Pajak, maka implikasi hukumnya putusan menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat menurut hukum karena melanggar Pasal 84 ayat (1) huruf f UUPP.
Selain itu, putusan Pengadilan Pajak yang memuat dokumen hukum yang tidak ditandatangani pejabat, telah nyata tidak memiliki penilaian hukum yang benar sehingga tidak punya kekuatan hukum yang sah menurut hukum dan melanggar hukum acara persidangan karena melanggar ketentuan Pasal 78 UUPP terkait penilaian pembuktian yang tidak benar.
Oleh karena Hakim Pengadilan Pajak mesti memutus perkara melalui tiga syarat, pertama, penilaian pembuktian; kedua, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan; ketiga, berdasarkan keyakinan Hakim. Keyakinan hakim tentu didasarkan pada alat bukti dokumen yang benar menurut hukum.
Makna Prosedural
Kasus sederhana pada persoalan uji prosedur formal persidangan yang sangat ketat, kiranya dapat ditarik pada pendekatan cara berfikir Austin yang menilai hukum hanya ditangkap sebagai aturan yuridis yakni bentuk yuridisnya. Hukum hanya berurusan dengan fakta bahwa ada tata hukum yang dibuat negara dan karenanya harus dipatuhi.
Jika tidak patuh, maka siap-siaplah dikenai sanksi. Karena hukum hanya berbicara hukum sudah ada dan sah secara yuridis. Prosedural hukum yang dituangkan secara yuridis adalah hukum yang dimaksud Austin yang mengikat dan sah adanya. Formal-legalistiknya sangat kuat sebagai makna hukum.
Kalau begitu, uji prosedural formal dalam persidangan menjadia menarik kerika sah tidaknya didasarkan dalam bentuk yuridisnya. Kesepakatan itu sudah dipahami para pihak yang bersengketa dan harus dipatuhi. Hukum sebagai bentuk formal-legalistik tidak menilai dalam tataran soal adil dan tidak adil. Itu sebabnya, kasus menjadi menarik karena para pihak harus bersandarkan pada penilaian formal-legalistiknya.
Biarlah itu menjadi pembelajaran para pihak bahwa hukum acara tetap menajdi bagian dari proses hukum yang harus ditaati karena pearturan perundang-undangan sudah mengaturnya.
Richard Burton
Dosen FH Universitas Tarumanagara, Jakarta
Ketua Bidang Humas Perkumpulan Pengacara dan Praktisi
Hukum Pajak Indonesia (P3HPI)