KEPALA Kajian Perlindungan Sosial dan Ketenagakerjaan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesis (LPEM UI) Muhammad Hanri menuturkan, program Jaminan Hari Tua (JHT) semestinya kembali pada tujuan utamanya sebagai program jangka panjang. Pasalnya JHT bukan merupakan unemployment insurance yang bisa dimanfaatkan fasilitasnya ketika pekerja berhenti bekerja atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Memang seharusnya JHT itu dikembalikan lagi ke fitrahnya (jangka panjang), yang mana itu untuk mempersiapkan hari tua, ketika pekerja sudah tidak lagi produktif. Jangan sampai kita salah kaprah mengartikan JHT sebagai unemployment insurance (UI), di mana UI tersebut bisa diambil sewaktu-waktu ketika seseorang menjadi unemployed," jelasnya kepada Media Indonesia, Selasa (22/2).
Jaminan di hari tua, kata Hanri, merupakan hal penting bagi perlindungan masyarakat di masa tuanya. Apalagi saat ini tingkat kemiskinan penduduk lansia sudah jauh lebih tinggi dibandingkan rerata nasional. Dalam 30 tahun lagi ketika angka harapan hidup meningkat, proporsi lansia terhadap total populasi akan jauh lebih tinggi dari proporsi saat ini.
"Kalau tidak dipersiapkan dari sekarang akan sangat berbahaya baik untuk keuangan pemerintah (karena harus menanggung lansia) dan juga kesejahteraan secara umum," tambah Hanri.
Sejatinya, Permenaker 2/2022 tentang JHT yang menuai polemik memiliki substansi yang cukup baik dan tepat. Hanya, yang menjadi persoalan ialah pemilihan waktu di mana dalam waktu berdekatan Kemenaker juga memperkenalkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai program jangka pendek.
Baca juga : Kebijakan Program JKP dan JHT Dipastikan untuk Kesejahteraan Pekerja
JKP yang baru berlaku efektif pada 1 Februari 2022 belum terdengar ke telinga masyarakat luas. Pemerintah mestinya menjelaskan dan menyosialisasikan program tersebut secara masif kepada masyarakat untuk memberi pemahaman yang utuh.
Namun faktanya, selang dua minggu kemudian, pemerintah justru menerbitkan Permenaker 2/2022 yang akhirnya menimbulkan penolakan secara masif.
"Mungkin apabila pemerintah menunggu JKP well established dulu, lalu baru memperkenalkan Permenaker 2/2022, mungkin gesekannya tidak akan setinggi sekarang," kata Hanri.
Dia menambahkan, permintaan Presiden Joko Widodo untuk menyederhanakan aturan dalam Permenaker 2/2022 juga dinilai menjadi hal yang paling rasional. Namun dikhawatirkan pemerintah bakal kehilangan momentum untuk memberikan pemahaman yang jelas menyoal JHT sebagai program jangka panjang, dan JKP sebagai program jangka pendek. (OL-7)