KAJIAN Titik Temu Nurcholish Madjid Society (NCMS) ke-55, Rabu malam (2/2), sangat menarik. Kajian itu mendiskusikan topik yang kerap menjadi perbincangan publik di negeri ini, yakni kesetaraan. Topik ini lalu disandingkan dengan negara dan tuhan, dua kata yang sulit dilepaskan tatkala kita bicara soal topik kesetaraan.
Negara, Tuhan, dan Kesetaraan menjadi topik yang diangkat untuk diulas oleh Dr. Sukidi, seorang sarjana Muslim yang namanya sedang bersinar kini. Judul kajian ini diangkat dengan pertimbangan pengayaan pemikiran dan selaras dengan hasil kajian bersama di internal Nurcholish Madjid Society.
Kajian itu sangat bernas, merefleksikan pandangan brilian para pendiri bangsa. Setidaknya ada dua pendiri bangsa yang menjadi inspirasi Sukidi, yakni Soekarno dan Haji Agoes Salim. Gagasan Sukidi tersebut lantas diperbincangkan secara luas, lalu ditanggapi beragam, termasuk yang paling akhir diapresiasi Hamid Basyaib dengan tajuk Toleransi Total Haji Agus Salim-Konfirmasi atas Esai Dr. Sukidi.
Dengan alasan itu juga sebenarnya topik ini didiskusikan pada Rabu malam lalu. NCMS ingin memberikan ruang yang cukup luas kepada Dr. Sukidi untuk menguraikan gagasan-gagasannya tentang negara, tuhan, dan kesetaraan secara lebih gamblang. Alasannya, pikiran-pikiran yang dituliskan di kolom itu memang layak diurai agar mampu mencerahkan publik, setidaknya menjadi bahan perenungan untuk dikaji lebih luas lagi di berbagai forum ilmiah.
Gagasan yang cukup menarik perhatian dari kajian itu ialah uraian Sukidi tentang kelugasan pikiran Haji Agoes Salim yang memberikan ruang seluas-luasnya dan setara kepada setiap warga negara untuk beragama (bertuhan) dan tidak bertuhan sekaligus. Gagasan ini tentu sangat maju untuk zamannya.
Haji Agoes Salim tanpa keraguan sedikit pun menyodorkan gagasan tersebut dipublikasikan di Mimbar Agama (1950) untuk dapat dibaca luas oleh publik Indonesia. Bagi Haji Agoes Salim, konsep negara ketuhanan yang disepakati para pendiri Republik ialah negara yang menjamin kesetaraan dalam berkeyakinan kepada setiap warga negara.
Sukidi membacakan kalimat Haji Agoes Salim secara verbatim untuk menghindarkan pembacaan atau tafsir yang keliru atas gagasan Haji Agoes Salim itu. "Dapatkah dengan asas negara (Ketuhanan yang Maha Esa) itu, kita mengakui kemerdekaan keyakinan orang yang meniadakan Tuhan? Atau keyakinan agama yang mengakui Tuhan berbilangan atau berbagi-bagi?" Dengan tegas, Haji Agoes Salim menjawab, "Tentu dan pasti!"
Dengan mengutarakan itu, Haji Agoes Salim hendak menegaskan bahwa keragaman agama dan keyakinan merupakan kehendak Tuhan yang ditegaskan dalam surah al-Maidah ayat 48. Prinsip ini harus dipegang teguh dan optimis dengan menunjukkan sikap saling menghargai dan saling menghormati antarwarga negara apa pun agama dan keyakinannya.
Lebih jauh lagi, ujar Sukidi sembari menguraikan gagasan Haji Agoes Salim, siapa pun dilarang untuk memaksa, mencaci maki, mencela, sesembahan, atau keyakinan umat lain sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Anam ayat 108. Gagasan yang diurai Sukidi pada Rabu malam lalu, dilihat sebagai ikhtiar untuk menghidupkan pemikiran Haji Agoes Salim yang kurang diapresiasi atau malah dilupakan.
Tak banyak pikiran brilian Haji Agoes Salim terkait subjek ini diulas dengan begitu lugas. Tentu banyak yang menulis sisi pemikiran Haji Agoes Salim sebagai seorang pemikir Muslim ternama dan penganjur wawasan modernisme Islam di masanya. Tapi, kelugasaan Haji Agoes Salim memberikan kebebasan yang setara kepada setiap warga dalam berkeyakinan, tidak dieksplorasi.
Bahkan, sepertinya baru Sukidi yang menunjukkan bahwa Haji Agoes Salim jauh lebih maju ketimbang John Locke dalam soal prinsip kesetaraan ini. Locke hanya memperjuangkan toleransi kepada dissenters yang menjadi korban persekusi di Inggris karena perbedaan keyakinan dengan gereja Anglikan.
Baca juga: Tari Kontemporer Indonesia-Prancis Meriahkan Sejumlah Kota Besar Prancis
Kata Sukidi, toleransi hanyalah semacam konsesi negara atau gereja agar tidak melakukan persekusi. Sementara Haji Agoes Salim memperjuangkan kemerdekaan keyakinan yang setara bagi semua warga, termasuk mereka yang tidak menyembah Tuhan sekali pun. Di sini jelas bahwa Locke hanya menuntut toleransi yang terbatas, yang menurut Diana Eck, "Terlalu rapuh sebagai fondasi untuk membangun masyarakat yang majemuk."
Mempercakapkan kembali gagasan Haji Agoes Salim, sebagaimana telah dimulai oleh Sukidi, ialah cara penting untuk membangun kehidupan bersama yang inklusif, bebas, dan setara. Jelas sekali, dari ceramah sepanjang 1 jam 41 menit itu, Sukidi ingin menarik gagasan negara-bangsa kembali ke arahnya yang inklusif, yang memberikan kesetaraan kepada setiap warga negara, dengan menyandarkan argumennya kepada pikiran para pendiri bangsa. (RO/OL-14)