03 February 2022, 13:29 WIB

Dorong Demokrasi Lebih Baik, Diaspora Gugat Presidential Treshold


Indriyani Astuti | Politik dan Hukum

ANTARA/Hafidz Mubarak
 ANTARA/Hafidz Mubarak
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta.

SEBANYAK 27 diaspora yang berada di 12 negara mengungat ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Pada sidang pendahuluan di Mahkamah Konstitusi (MK), para pemohon meminta Mahkamah mengubah pandangannya mengenai syarat ambang batas pencalonan presiden.

Mahkamah sebelumnya menganggap syarat tersebut sebagai kebijakan pembuat undang-undang (open legal policy).

Namun, pemohon merasa ketentuan itu mencederai hak-hak para pemohon dalam berdemokrasi baik memilih calon presiden dan wakil presiden, ataupun hak untuk mencalonkan diri.

Kuasa hukum para pemohon Refly Harun menjelaskan, ada lima kerugian baik aktual maupun potensial yang dialami para pemohon atas berlakunya norma Pasal 222 UU Pemilu.

Kerugian itu antara lain, para pemohon tidak dapat memilih lebih banyak kandidat calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu, warga negara diaspora yang punya kualitas dan kapasitas memajukan bangsa dan berniat mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden, terhambat karena beratnya persyaratan tersebut.

"Para pemohon tidak mendapat keadilan yang sama dalam proses pemilu," ujar Refly di sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (3/2).

Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan anggota Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Daniel Yusmic P. Foekh.

Baca juga: Uji Kepatutan dan Kelayakan Calon Anggota KPU-Bawaslu DIgelar 7-9 Februar

Kuasa hukum Muhammad Raziv Barokah juga menyebut ambang batas pencalonan presiden telah menghilangkan calon-calon yang beragam. Norma mengenai ambang batas pencalonan presiden dianggap melanggar konstitusi karena UUD 1945.

Menurut kuasa hukum, UUD 1945 hanya mengatur calon presiden dan wakil presiden diusung oleh partai politik maupun gabungan partai politik dan dicalonkan sebelum pelaksanaan pemilu.

"Presidential treshold mencederai hakikat demokrasi yang adil dan jujur," ujarnya.

Pasal 222 UU Pemilu berbunyi "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".

Karenanya, para pemohon meminta Mahkamah mengubah pendiriannya atas norma itu menjadi bukan lagi kewenangan pembentuk undang-undang.

Salah satu pemohon Tata Kesantra mengatakan gugatan tersebut merupakan wujud keprihatinan diaspora di luar negeri atas situasi di tanah air. Menurutnya prinsip demokrasi yang ada tidak diterapkan seperti kedaulatan di tangan rakyat tidak berjalan dengan baik.

"Dengan dihapusnya ambang batas akan menjadi pintu pembuka pembenahan perpolitikan di tanah air," ujarnya. Karena itu, para pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 222 UU No.7/2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.

Merespons permohonan itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyampaikan hampir semua gugatan mengenai ambang batas pencalonan presiden yang masuk ke MK saat ini punya argumentasi sama. Ia meminta kuasa hukum melihat dan mempelajari putusan Mahkamah sebelumnya untuk memperkaya argumen.

"Kuasa pemohon mencari putusan MK, yang sebelumnya menganggap norma sebagai open legal policy kemudian berubah atau bergeser," ujar Saldi.

Selain itu, kuasa hukum menurutnya bisa memberikan contoh dari negara lain yang juga menerapkan sistem multipartai apakah menggunakan ambang batas pencalonan presiden.

Pasalnya dalam permohonan, kuasa hukum membandingkan Indonesia dengan Amerika Serikat yang hanya ada dua partai mayoritas di parlemennya. (Ind/OL-09)

BERITA TERKAIT