20 January 2022, 22:58 WIB

PLN Beberkan Sejumlah Masalah dalam Perdagangan Emisi Karbon 


Insi Nantika Jelita | Ekonomi

Antara/Indrianto Eko Suwarso
 Antara/Indrianto Eko Suwarso
PLTP Kamojang di Garut, Jawa Barat, salah satu upaya PLN mengurangi gas rumah kaca di Indonesia

DIREKTUR Manajemen Sumber Daya Manusia PT PLN Yusuf Didi Setiarto mengakui, masih ada beberapa tantangan dalam implementasi regulasi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). 

Beberapa di antaranya terkait kapasitas sumber daya manusia yang masih perlu dikembangkan, sistem pengukuran, pelaporan dan verifikasi (Measurement, Reporting, Verification atau MRV) yang belum beroperasi secara penuh. 

Kemudian soal perencanaan implementasi nilai ekonomi karbon yang masih dianggap belum optimal. 

"Oleh karena itu, ketentuan mengenai mekanisme implementasi cap, trade and tax dibutuhkan sebagai rujukan bagi PLN sebagai persiapan implementasi NEK di Indonesia," kata Didi dalam keterangannya, Kamis (20/1). 

Dia menjelaskan, PLN telah melakukan uji coba perdagangan karbon nasional melalui dua skema, yaitu perdagangan kuota emisi dan pengimbangan emisi. 

Perdagangan emisi terjadi antara pembangkit yang melebihi emisi dengan pembangkit yang memiliki alokasi emisi yang tidak terpakai. 

"Adapun pengimbangan emisi dilakukan oleh PLTU dengan membeli kredit karbon atau sertifikat penurunan emisi yang dihasilkan oleh suatu aksi mitigasi perubahan iklim," ucapnya. 

Baca juga : Presiden Paparkan Strategi Indonesia Wujudkan Ekonomi Hijau di World Economic Forum 

Hingga saat ini, PLN mengaku telah memperoleh sertifikat penurunan emisi (kredit karbon) sejumlah 7,9 juta ton CO2e dan memasarkan kredit karbon tersebut pada pasar karbon internasional maupun nasional. 

PLN menyatakan telah berpartisipasi dalam perdagangan karbon internasional. Beberapa pembangkit energi terbarukan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong dan PLTP Kamojang telah mengadopsi Clean Development Mechanism (CDM) yang merupakan salah satu mekanisme perdagangan karbon pada Protokol Kyoto. 

Sementara, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi menegaskan, dalam mencapai komitmen Indonesia untuk net zero emissions di 2060, perlu didorong melalui transisi energi nasional. 

Implementasinya berupa penghapusan secara bertahap dari operasionalisasi PLTU batu bara dan subsidi dengan pengembangan energi secara besar-besaran dari energi baru terbarukan (EBT). 

KLHK juga menyatakan akan mengembangkan berbagai macam modalitas dan sistem pendukung untuk memastikan penyelenggaraan NEK dapat berlangsung dengan tepat, efektif dan efisien. 

"Sistem pendukung tersebut di antaranya strategi dan peta jalan mitigasi, sistem inventori Gas Rumah Kaca (GRK), Sistem Registri Nasional  (SRN), sistem informasi data indeks kerentanan, program kampung iklim, dan lainnya," urainya. (OL-7)

BERITA TERKAIT