30 December 2021, 17:59 WIB

Serikat Petani Sawit Menilai BPDPKS Prioritaskan Konglomerat Sawit 


mediaindonesia.com | Ekonomi

Ist
 Ist
Petani sawit sedang memanen buah kelapa sawitnya.

SERIKAT Petani Kelapa Sawit (SPKS) menilai Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) masih memprioritaskan konglomerat sawit, mengabaikan petani sawit, dan tidak berkontribusi pada percepatan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).

Hal ini terungkap dalam catatan akhir tahun 2021 yang disampaikan BPDPKS pada Selasa, 28 Desember 2021, di mana lembaga tersebut menggelontorkan dana subsidi biodiesel Rp110,05 triliun selama periode 2015-2021. 

Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa sejak awal berdiri tahun 2015 hingga 2021 BPDPKS sudah menghimpun dana sebesar Rp137,283 triliun.

Dana tersebut kemudian disalurkan melalui beberapa program, di antaranya sebesar Rp110,05 triliun (80,16 persen) untuk subsidi biodiesel periode 2015-2021, sebesar Rp6,59 triliun (4,8%) untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) pada 2015-2021, sebesar Rp389,3 miliar untuk program penelitian dan pengembangan selama 2015-2021.

Selain itu, sebanyak Rp199,01 miliar untuk program pengembangan SDM sepanjang 2015-2021, sebanyak Rp21,1 Miliar untuk  program Sarana dan Prasarana pada 2021, dan sebesar Rp318,5 miliar untuk program promosi, advokasi, dan kemitraan sawit pada 2015-2021. 

Menanggapi hal ini, Sekjen SPKS Nasional, Mansuetus Darto mengatakan bahwa yang dilakukan BPDPKS sudah tidak sesuai dengan mandat Presiden.

“Dengan pencapaian seperti ini, BPDPKS sudah keluar dari mandat Presiden Jokowi saat pendirian BDPKS itu sendiri, yaitu untuk mendukung pembangunan sawit berkelanjutan di Indonesia, dan bahkan saat ini BPDPKS tidak memenuhi harapan petani,” jelas Darto, Kamis (30/12). 

Darto juga mengungkapkan beberapa fakta yang dilakukan BPDPKS yang membuat rugi petani sawit selama ini. 

“Pertama, dana sebesar Rp137,283 triliun juga merupakan dana dari petani sawit, yang dihimpun oleh BPDPKS bersumber dari pungutan didasarkan peraturan terbaru yaitu PMK 75/PMK.05/2021.

Dalam peraturan itu, tarif pungutan ekspor untuk minyak kelapa sawit (CPO) minimal sebesar US$55 per ton dan paling tinggi US$175 per ton.

"Analisis kami dengan harga CPO saat ini, pungutan ini bisa mengurangi harga TBS di tingkat petani kelapa sawit sebesar Rp400/kg TBS setiap kilogramnya. Dengan demikian maka seharusnya pengunaan dana ini lebih memprioritaskan kebutuhan petani sawit,” tegas Darto. 

Kedua, lanjutnya, terkait dengan subsidi kepada konglomerat biodiesel sebesar Rp110,05 triliun atau 80,16% dari total dana dipungut oleh BPDPKS, diketahui bahwa pemberian subsidi ini tidak memberikan dampak positif secara langsung kepada petani sawit karena mayoritas perusahan penerima subsidi biodiesel tersebut tidak ada kemitraan dengan petani sawit swadaya. 

Petani tetap saja menjual buah sawitnya kepada tengkulak dengan kerugian sekitar 30 persen dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah.

Di saat yang bersaman BPDPKS dan pemerintah tidak memiliki mekanisme untuk mendorong agar perusahaan penerima subsidi biodiesel bisa memberdayakan petani sawit dan membangun kemitraan.

Darto meminta agar kedepan perusahaan penerima subsidi biodiesel wajib bermitra dengan petani sawit swadaya secara langsung. 

Lebih jauh Darto mengatakan, program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) hingga 2021 hanya mencapai 242.537 hektare dengan jumlah petani sawit sebanyak 105.684 dan anggaran yang disalurkan sebesar Rp6,59 triliun. Jika dilihat dari target program PSR periode 2017-2021 yaitu sebesar 745.780 Ha, maka dari sisi capain hanya sekitar 33 persen saja. 

Rendahnya capaian ini karena sulitnya petani mengakses program PSR akibat dari peraturan yang berubah-ubah, persyaratan yang sulit, termasuk sosialisasi yang kurang dilakukan sampai di desa-desa sawit, dan bahkan program ini juga terkesan tidak dipercayakan kepada pemerintah kabupaten melalui dinas perkebunan.

Program ini juga belum banyak melibatkan petani sawit swadaya murni dan lebih banyak petani plasma karena data yang tidak tersedia dan kelembagan yang tidak ada di tingkat petani sawit swadaya. 

“Untuk itu perlunya BPDPKS ke depan tidak hanya fokus pada percepatan PSR, tetapi juga bagaimana mempersiapkan dukungan pada prakondisi PSR mulai dari pendataan petani sawit dan juga dukungan pembentukan kelembagan petani sawit dan juga penguataan manajemen kelembagaan,” terang Darto. 

Terakhir, kata Darto, BPDPKS juga belum berkontribusi membantu persiapan sertifikasi ISPO sebab tidak ada dana untuk prakondisi ISPO petani seperti pemetaan by name, by address, by spatial, mempercepat legalitas petani, dan pembangunan kelembagaan yang merupakan hal terpenting dalam pelaksanaan sertifikasi ISPO sesuai dengan amanat Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang ISPO. 

Selain itu, BPDPKS juga tidak berkontribusi dalam mendukung pemerintah daerah penghasil sawit untuk memperkuat sawit berkelanjutan dan perencanaan kabupaten berkelanjutan melalui rencana aksi daerah sesuai dengan Inpres Nomor 6 Tahun 2019 Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. 

Banyak daerah saat ini yang sudah memiliki RAD sawit berkelanjutan tidak berjalan karena anggaran yang tidak ada dalam implementasinya seperti target mempercepat pendataan petani sawit melalui STDB. 

Sekjen SPKS juga berharap adanya keterlibatan semua asosiasi petani sawit dalam mensukseskan program BPDPKS, seperti program PSR dan juga percepatan ISPO ke depanya.

SPKS tentunya sangat mendukung upaya BPDPKS untuk program-program sawit berkelanjutan dan ini yang dilakukan selama ini oleh SPKS, termasuk memetakan kebun petani sawit swadaya, membangun kelembagaan petani sawit, dan juga melatih SDM petani langsung di desa-desa. (RO/OL-09)

BERITA TERKAIT