05 December 2021, 05:00 WIB

Move On


Adiyanto Wartawan Media Indonesia | Opini

MI/Ebet
 MI/Ebet
Adiyanto Wartawan Media Indonesia

PANDEMI covid-19 yang melanda dunia dalam dua tahun terakhir telah mengubah banyak hal pada perilaku manusia. Dari keharusan (hingga akhirnya jadi kebiasaan) memakai masker dan mencuci tangan, sampai aktivitas belajar dan bekerja dari rumah. Perubahan perilaku ini sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi yang terjadi agar manusia tidak terjangkit penyakit zoonosis (yang ditularkan hewan ke manusia) tersebut. Penemuan vaksin juga sebagai salah satu langkah antisipasi lainnya untuk memutus mata rantai penyebaran virus.

Sebagian upaya itu berhasil kendati belum betul-betul mampu melenyapkan makhluk kecil tersebut dari muka bumi. Kabarnya, ia kini malah bermutasi lagi menjadi varian baru yang bernama omicron. Seberapa ganas dan menularnya varian baru ini, kita sepertinya mesti bersabar menunggu penelitian para ahli. Untuk sementara, yang bisa kita lakukan ialah tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan. Varian delta yang mengamuk dan menelan banyak korban pada Juni-Agustus lalu, salah satunya dipicu karena kita, masyarakat, dan pemerintah lengah.

Kini, seiring dengan melandainya kasus, tanda-tanda kelengahan itu kembali terlihat. Di angkutan publik, terutama Trans-Jakarta, para penumpang tidak lagi menjaga jarak. Mereka juga nekat menduduki kursi yang masih diberi tanda silang. Padahal, itu jelas-jelas dilarang untuk membatasi jarak antarpenumpang. Begitu pun di halte, pengukuran suhu tubuh dilakukan sekadarnya, bahkan tak jarang tidak diperiksa sama sekali. Sependek pengetahuan saya sebagai komuter, hanya PT KAI yang sejauh ini masih tertib menerapkan protokol perjalanan, mulai di stasiun hingga dalam gerbong.

Sebaiknya para pejabat yang berwenang mengurusi transportasi publik, sesekali kembali mengecek kondisi di lapangan. Kalau perlu dengan menyamar sebagai penumpang. Kedisiplinan memang perlu sanksi dan teguran, tapi alangkah eloknya seandainya itu juga ditopang dengan kesadaran dari masyarakat. Kebijakan kerja bergantian di rumah yang diterapkan saat awal keluarnya aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dulu, sebaiknya tetap dilanjutkan, terutama pada jenis-jenis pekerjaan tertentu yang memungkinkan dilakukan dari mana saja. Kerja dari rumah atau work from home, selain dapat menekan risiko penularan, mengurangi polusi dan kemacetan, juga membuat buruh/pekerja sehat. Perusahaan pun hemat.

Setiap krisis, entah ekonomi, kesehatan, entah politik, selalu melahirkan perubahan kendati tidak selalu ke arah yang lebih baik. Depresi Besar (Great Depresion) di era 30-an yang terjadi di Amerika Serikat dan berdampak pada perekonomian dunia, mendorong lahirnya ide perdagangan bebas. Begitu pun Perang Dunia ke-2 yang mengubah tatanan geopolitik dunia dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pandemi covid-19 yang melahirkan krisis global, bahkan mungkin yang terbesar di abad ini, seharusnya juga dapat menjadi pelajaran untuk melahirkan perubahan yang lebih baik.

Kini, manusia tentu tidak bisa lagi berkutat dan mempertahankan tatanan dan cara pandang lama. Apalagi, dampak dari krisis ini nyata-nyata telah memorakporandakan berbagai sendi kehidupan, mulai kesehatan, ekonomi, politik, hingga budaya. Ke depan, penyediaan dan kelengkapan fasilitas kesehatan tentu tidak boleh lagi dianaktirikan. Begitu pun dengan kesejahteraan tenaga kesehatan. Di era yang katanya new normal atau kenormalan baru, semua harus berubah. Bahkan, hal terkecil seperti kebiasaan memakai masker dan mencuci tangan, harus pula menjadi bagian dari laku hidup sehari-hari, terutama saat beraktivitas di ruang publik. Selain berguna mencegah terjangkit virus, masker bermanfaat menyaring debu polusi menyelinap ke paru-paru.

Intinya, manusia kini mesti move on, jangan cuma virus yang lihai bermutasi.

BERITA TERKAIT