TINDAK lanjut penyelesaian sembilan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat tidak perlu menunggu keputusan DPR. Pemeintah melalui Kejaksaan Agung (Kejagung) dapat menindaklanjuti dengan menyidik kasus tersebut sesuai dengan ketentuan perundangan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi NasDem Taufik Basari dan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid mengemukakan itu dalam kesempatan terpisah.
Taufik menjelaskan keputusan DPR untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc dilakukan setelah penyidikan oleh Kejagung untuk melengkapi hasil penyelidikan Komnas HAM. Ketentuan itu Pasal 43 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pasal tersebut menyebut pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Kemudian, pada ayat (2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.
"DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan UU 26/2000," tutur Taufik.
Senada, Jazilul meminta pemerintah tidak menunggu DPR, tetapi segera memroses penyelesaian kasus-kasus HAM tersebut.
Dia mengapresiasi komitmen pemerintah khususnya Kejaksaan Agung untuk menuntaskan kasus HAM berat. Berbagai kasus tersebut pasti membutuhkan perhatian khusus dan memakan waktu yang tidak sebentar. "Kita tunggu langkah konkretnya, sebab kasus ini cukup pelik," ujar Jazilul, Selasa (30/11).
Baca juga: Mahfud MD: Kasus HAM Berat Sebelum Tahun 2000 Ditentukan DPR
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, pada Kamis (25/11), menyatakan dari 13 kasus pelanggaran HAM berat yang diselidiki Komnas HAM, sembilan di antaranya menunggu keputusan DPR karena UU Pengadilan HAM terbit. Adapun empat sisanya tengah diproses Kejagung dengan membuka penyidikan umum.
Staf Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Tioria Pretty meminta Kejagung membuka informasi empat kasus yang akan diproses melalui penyidikan umum. "Pada 25 November kemarin dan kemudian sehari setelahnya Jaksa Agung bilang melakukan penyidikan umum perkara pelanggaran HAM berat masa kini. Kami belum mengetahui umum maksudnya apa, dari 4 kasus masa kini, mana saja yamg mereka mau sidik umum, ini belum juga dibuka oleh Jaksa Agung," ungkapnya.
Kontras juga menilai pernyataan pemerintah agar DPR menindaklanjuti upaya penyelesaian kasus HAM, merupakan pernyataan yang gagal paham. Perdebatannya tersebut, menurut Tioria, sudah selesai sejak terbitnya Putusan MK No18/PUU-V/2007. Putusan itu menyebutkan bahwa sebelum DPR dapat merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc ke presiden, DPR perlu dua hal, yakni hasil penyelidikan Komnas HAM dan hasil penyidikan Jaksa Agung.
"Dari awal pernyataan Mahfud soal harus tindaklanjut DPR, itu pernyataan gagal paham menurut kami. Jadi bagaimana pun juga DPR tidak berwenang gerak kalau belum ada hasil penyidikan Jaksa Agung. Sampai sekarang Jaksa Agung belum menyidik," cetus Tioria.
Selain itu jika hanya bergantung dengan rekomendasi DPR hal tersebut sudah pernah dilakukan pada 2009 lalu. Saat itu rekomendasi berisikan meminta presiden membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk berbagai kasus penghilangan paksa 97/98, tapi tidak kunjung diwujudkan.
Tioria menekankan pula jika pemerintah menindaklanjuti sesuai penyidikan yang diatur oleh UU, banyak yang harus dikawal oleh publik di antaranya komposisi tim penyidik dan seterusnya. "Karena kami tidak ingin kegagalan tiga kasus HAM berat yang lalu terulang kembali di masa sekarang." (P-2)