30 November 2021, 10:56 WIB

Mengenal Kelompok Taliban yang Sekarang Mrenguasai Afghanistan


Kevino Dwi Velrahga | Internasional

AFP/BULENT KILIC
 AFP/BULENT KILIC
Pejuang Taliban berpose di Kabul, Afghanistan.

TANGGAL 15 Agustus 2021 menjadi hari bersejarah karena kelompok Taliban berhasil merebut dan menguasai Afghanistan kembali setelah tersingkir selama 20 tahun lamanya. 

Hal itu terjadi setelah serangan kilat yang mereka luncurkan di Kabul, ibu kota Afghanistan, berhasil membuat pasukan militer Afghanistan menyerah serta Presiden Ashraf Ghani melarikan diri ke luar negeri.

Baca juga: Jokowi Soroti Isu Keamanan dan Hak Perempuan di Afghanistan

Peristiwa ini menjadi sorotan dunia internasional karena Taliban sendiri bukanlah pemain baru yang menguasai Afghanistan. Kelompok Islam garis keras itu memiliki sejarah panjang serta memiliki reputasi buruk usai dianggap melanggar hak asasi manusia hingga budaya.

Siapa itu Taliban?

Melansir dari BBC, Taliban merupakan kelompok yang mulai dibentuk di awal 1990-an. Taliban mulai terbentuk di utara Pakistan, pascapasukan Uni Soviet mundur dari Afghanistan.

Kata Taliban sendiri berasal dari bentuk jamak dari bahasa Arab thalib yang berarti penuntut atau pencari ilmu (anak laki-laki). Dalam bahasa Pashtun, thalib menjadi Taliban.

Awalnya, anggota Taliban banyak dari etnik Pashtun, yang tinggal di wilayah Selatan Afghanistan. 

Pembentukan Taliban dimulai di pesantren-pesantren yang kebanyakan dibiayai Arab Saudi, yang umumnya menganut aliran Sunni garis keras.

Kepada rakyat Afghanistan, Taliban berjanji mengembalikan perdamaian dan keamanan di negara tersebut sesuai syariah Islam. 

Janji Taliban tersebut membuat kelompok ini mudah diterima dan berhasil menyebarkan pengaruhnya.

Taliban di Masa Lalu

Ditulis Aljazeera, kehadiran Taliban mendapat sambutan ketika mereka pertama kali muncul. Popularitas awal itu disebabkan keberhasilan mereka dalam memberantas korupsi, membatasi pelanggaran hukum, dan membuat jalan-jalan serta daerah-daerah di bawah kendali mereka aman untuk perdagangan berkembang.

Namun, popularitas itu tidak berlangsung lama. Pasalnya, Taliban memaksakan interpretasi ultraketat hukum Islam. Beberapa pembatasan pun diterapkan seperti pelarangan perempuan mendapatkan pendidikan dan pekerjaan, kecuali dokter perempuan. Siapa pun yang tidak patuh akan dipenjara atau dipukuli di depan umum.

Selain itu, Taliban juga memperkenalkan hukuman sesuai dengan interpretasi ketat mereka terhadap hukum Syariah. Hal itu seperti eksekusi publik terhadap pembunuh dan pezina, serta amputasi bagi mereka yang terbukti bersalah melakukan pencurian.

Laki-laki diharuskan menumbuhkan janggut dan perempuan harus mengenakan burka yang menutupi seluruh tubuh. 

Taliban juga melarang televisi, musik dan bioskop, dan tidak menyetujui anak perempuan berusia 10 tahun ke atas pergi ke sekolah. Atas tindakan itu, mereka dituduh melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan budaya.

Pada 1999, PBB memberikan sanksi terhadap Taliban atas hubungannya dengan Al-Alqaeda, yang dipersalahkan atas serangan 9/11 di Amerika Serikat (AS). 

Dari sana, AS mulai menginvasi Afghanistan pada 7 Oktober 2001 setelah Taliban menolak menyerahkan pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden, yang bersembunyi di Afghanistan. Bin Laden dianggap sebagai dalang di balik serangan paling mematikan di tanah AS. 

Menjelang invasi AS, kelompok itu meminta pemerintahan Presiden AS George W Bush untuk membuktikan kalau bin Laden berperan dalam serangan 9/11. 

Mereka juga bernegosiasi dengan Washington, tetapi Bush menolak seluruh permintaan itu. 

Dalam beberapa bulan setelah AS dan sekutunya berkampanye atas pengeboman, Taliban digulingkan. Pemerintah sementara pun dibentuk pada Desember 2001 dan dipimpin oleh Hamid Karzai.

Taliban Sekarang

Setelah 20 tahun dilengserkan pada 2001, Taliban kembali menguasai Afghanistan dan memasuki istana presiden pada 15 Agustus 2021 lalu. Kejadian itu juga membuat Presiden Afghanistan Ashraf Ghani melarikan diri ke luar negeri.

Banyak masyarakat Afghanistan mengkhawatirkan nasib mereka di bawah kendali kelompok Taliban. Namun menepis keraguan tersebut, Taliban, dalam konferensi pers pada 17 Agustus 2021, membuat jaminan kepada warga Afghanistan dan dunia, termasuk mengklaim tidak melakukan serangan balas dendam terhadap siapa pun yang bekerja dengan AS.

Taliban, melalui juru bicaranya Zabihullah Mujahid, mengatakan mereka akan bekerja dengan perempuan, tetapi dengan batas-batas hukum syariah. 

Konferensi itu dilakukan setelah mereka menguasai Kota Kabul yang menyebabkan ribuan warga Afghanistan berusaha melarikan diri dari negara itu.

Untuk itu, Taliban berusaha meyakinkan masyarakat yang ketakutan kalau mereka akan kembali membawa hukum dan ketertiban ke Afghanistan. Mereka berjanji kengerian dari aturan sebelumnya tidak akan terulang lagi. 

"Kami ingin dunia mempercayai kami," kata Mujahid.

Mujahid mengatakan, mereka akan memastikan keamanan semua kedutaan asing dan organisasi bantuan. Ketika ditanya tentang status hak-hak perempuan dan kebebasan pers di bawah Taliban, Mujahid menegaskan, baik perempuan dan media akan dapat berpartisipasi dalam masyarakat sesuai dengan hukum syariah.

Lebih lanjut, mengutip dari VOA Indonesia, komitmen tersebut diwujudkan dengan kebijakan yang mereka luncurkan salah satunya dalam bidang pendidikan. 

Menteri Pendidikan Tinggi Taliban, Abdul Baqi Haqqani pada Sabtu (11/9/2021) mengatakan dalam konferensi pers, perempuan di Afghanistan boleh melanjutkan pendidikan hingga ke universitas, termasuk tingkat pascasarjana, tetapi ruang kelas akan dipisah berdasarkan gender dan mereka wajib berbusana Muslimah.

Haqqani mengatakan pemerintahan Taliban yang disebut Imarah Islam, tidak akan menentang pendidikan yang mengikuti hukum Islam. 

Namun, kata Haqqani, mahasiswi akan menghadapi pembatasan yang diterapkan Taliban, termasuk aturan berpakaian.

Ia menambahkan jilbab akan diwajibkan tetapi ia tidak menetapkan apakah kewajiban itu hanya untuk memakai jilbab atau mencakup cadar.

Pemisahan gender juga akan ditegakkan, dan universitas-universitas harus memiliki kemampuan untuk menyediakan gedung yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. 

Haqqani mengatakan mata kuliah yang diajarkan di universitas-universitas juga akan ditinjau ulang tetapi ia tidak menjelaskan lebih jauh.

Dari kebijakan tersebut tentu menimbulkan protes dari masyarakat terutama kaum perempuan yang merasa haknya dilucuti. Namun jika meninjau dari kebijakan pemerintahan Taliban saat pertama kali mereka berkuasa, tentu ini merupakan batu loncatan yang baik. Karena pada era itu, anak perempuan dan perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mendapat pendidikan dan mereka disisihkan dari kehidupan publik.. (OL-1)

BERITA TERKAIT