23 November 2021, 14:25 WIB

Perlibatan Warga Sipil Dalam Komponen Cadangan Berpotensi Langgar HAM


Indriyani Astuti | Politik dan Hukum

MI/Adam Dwi   
 MI/Adam Dwi  
sidang Pengujian Materiil UU No 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara terhadap UUD 1945.

NEGARA diingatkan berhati-hati mengatur perlibatan warga sipil menjadi komponen cadangan dalam ancaman nonmiliter. Pada sidang uji materi No 23/2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Negara (PSDN), ahli dari pemohon yang merupakan Staf Pengajar di Departemen Hukum Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Heribertus Jaka Triana menjelaskan, perlibatan warga negara sipil sebagai komponen cadangan (Komcad) berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM). Ia menyebut UU a quo berpotensi melanggar HAM karena ada unsur kesengajaan untuk menutupi dan menghindarkan hak, kewajiban, serta risiko yang wajib diketahui oleh warga negara ketika menjadi Komcad.

"Apakah sipil mengerti risiko ketika mereka dilibatkan sebagai komponen cadangan. Peralihan status mereka dari sipil yang menikmati hak perlindungan hukum akan dapat disimpangi secara sengaja oleh negara pada warga negaranya tanpa masyarakat mengerti konsekuensi hukumnya," ujarnya di depan majelis yang diketuai Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (23/11).

Selain itu, ia menuturkan UU a quo perlu dilengkapi aturan kapan dan di mana ancaman nyata yang perlu perlibatan warga negara dalam komponen cadangan dan komponen pendukung. Menurutnya definisi perlibatan komponen cadangan dalam ancaman hibrida, pada UU itu kabur.

Baca juga: DPR Dukung Pembangunan Satu Data Nasional

Ahli lainnya, Dosen dari Departemen Sosiologi khususnya konflik UGM Muhammad Najib Aska menjelaskan upaya membentuk komponen cadangan selain untuk ancaman militer merupakan langkah yang tidak tepat. Ia menyebut bahwa yang dijadikan komponen utama pada ancaman selain militer adalah lembaga di luar bidang pertahanan.

Adapun komponen cadangan, imbuhnya, digunakan untuk menjadi kekuatan perang hanya pada keadaan sangat khusus seperti gangguan keamanan negara. "Pengaturan fungsi komponen cadangan untuk menghadapi ancaman hibrida dipandang sebagai kekeliruan atau penyimpangan," ucapnya.

Ia juga menilai dalam konteks global, perang antarnegara tidak terjadi lagi. Sehingga pembentukan komponen cadangan seharusnya diarahkan untuk membantu dan memperkuat komponen utama yaitu TNI dalam menghadapi ancaman militer. Dalam konteks kekinian, ujar dia, kebutuhan pemerintah dalam membangun pertahanan seharusnya ditujukan untuk penguatan alutsisa dan menjamin kesejahteraan prajurit.

"Kekuatan alutsista masih jauh dari postur ideal," ucapnya.

Lalu, ahli lainnya Dosen Fakultas Hukum dan Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia (UI) Eva Ahyani menuturkan sanksi pidana terhadap warga negara yang berstatus komponen cadangan/pendukung yang tidak memenuhi panggilan mobilisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU PSDN harus ditinjau ulang.

"Pasal 29 ayat 2 UU ini atas dasar sukarela menjadi tidak tepat ketika ada sanksi pidana seperti Pasal 77 ayat 1 dan 2 UU ini perihal paksaan," tukasnya.

Uji materi UU PSDN dimohonkan oleh Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), diwakili oleh Gufron, selaku Ketua Badan Pengurus, Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), diwakili Indria Fernida Alpha Sonny, selaku Ketua Badan Pengurus, Yayasan Kebajikan Publik Jakarta, diwakili oleh Usman Hamid,selaku Ketua Badan Pengurus, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, diwakili oleh, Totok Yuliyanto, selaku Ketua Badan Pengurus Nasional, Ikhsan Yosarie, Gustika Fardani Jusuf, dan Leon Alvinda Putra. (P-5)

BERITA TERKAIT