16 July 2021, 12:05 WIB

Bertumbuh Pendek, tapi Piawai Menenun Sarung Bermutu


GL/N-1 | Humaniora

MI/GABRIEL LANGGA
 MI/GABRIEL LANGGA
Marta Ndao, 40, penyandang disabilitas bertubuh pendek, tengah menenun sarung di rumahnya di Roworena Barat, Kecamatan Ende Utara.

TIDAK semua orang dilahirkan sempurna. Meskipun begitu, mereka masih tetap memiliki kesempatan yang sama dengan orang lain dalam beraktivitas, bekerja, sekolah, dan lainnya.

Seperti dua gadis pendek asal Kelurahan Roworena Barat, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Marta Ndao, 40, dan Maria Imakulata, 46. Memiliki fisik bertumbuh pendek merupakan keturunan dari ibunya. Dengan kondisi tubuh tidak sempurna, mereka ternyata mampu menenun dan menghasilkan produk sarung tenun berkualitas.

Keduanya bekerja sama mulai proses menggulung benang, mengurai dan menggulung benang, menentukan ukuran sarung ikat, proses ikat motif sarung, proses pewarnaan dan terakhir proses menenun hingga menghasilkan satu buah sarung.

Marta dan Maria mulai serius menenun pada 2015 setelah ibunya meninggal. Keduanya telah kehilangan ayahnya sejak usia dua tahun.

Meski dua kakak beradik ini mengalami kelainan genetik dwarfi sme, mereka tak pantang menyerah demi berusaha untuk hidup mandiri dengan menenun. Marta menjelaskan untuk menghasilkan sehelai kain tenun sangat bergantung pada tingkat kesukaran motifnya.

“Motif yang sukar bisa memakan waktu tiga bulan pengerjaan. Sementara untuk motif kain tenun dengan motif yang tidak rumit bisa diselesaikan dalam waktu tiga minggu,” kata Marta kepada mediaindonesia.com, Sabtu (26/6).

Bagian yang memakan waktu lama ialah saat mengikat benang. Penenun tidak sembarang mengikat. Pola ikatnya pula sangat bergantung pada motif yang diinginkan. “Kalau belum ada yang pesan tenun, kami minta upah dari penenun lain. Kami bantu ikat. Ada yang tidak tahu ikat untuk buat motif. Kami yang ikat. Setelah selesai, kami antar,” tutur Marta.

Harga kain tenun berkisar Rp500 ribu sampai Rp1 juta. Untuk pemasaran, mereka dibantu oleh perantara. Ada pula pelanggan yang memesan langsung ke kediaman mereka.

“Ada yang pesan sesuai dengan motif mereka sendiri, kami tinggal kerja. Bahan kami siap. Pas hasilnya jadi, tinggal mereka bayar uang,” lanjut Marta yang diamini Maria.

Dalam sebulan, Marta dan Maria bisa mendapatkan penghasilan Rp1 juta rupiah lebih dari menenun. Penghasilan itu sudah bisa membuat mereka hidup.

“Lumayan penghasilan kita. Penghasilan lewat tenun ikat ini sudah cukup buat beli makan dan kebutuhan sehari-hari,” pungkasnya.

Keduanya dalam sehari-hari bergabung sebuah wadah kelompok disabilitas bernama Kelompok Sa Ate. Kelompok Sa Ate sangat membantu para penyandang disabilitas dalam berekspresi. Sa Ate juga menjadi ruang untuk berbagi pengetahuan antarsesama penyandang disabilitas. Kelompok ini Se Ate ini kemudian difasilitasi oleh Yayasan Caritas Keuskupan Agung Ende (KAE).

Untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas, Yayasan Caritas KAE memfasilitasi terbentuknya Perkumpulan Penyandang Disabilitas Keuskupan Agung Ende yang dideklarasikan pada 28 Mei 2021 dengan ketuanya Kristina Pero. (GL/N-1)

BERITA TERKAIT