09 February 2021, 10:30 WIB

Opera Sabun di Panggung Mulia Olahraga


Agus Kristiyanto, Profesor Analisis Kebijakan Pembangunan Olahraga FKOR UNS Surakarta, Kolumnis Multi-Perspektif Keolahragaan, Pengurus Asosiasi Profesor Keolahragaan Indonesia (APKORI) | Opini

Dok pribadi
 Dok pribadi
Agus Kristiyanto

MEMANG tidak elok memperpanjang cerita aib tentang delapan oknum pebulutangkis nasional yang terbukti melakukan match fixing. Namun lebih tak elok lagi jika membiarkan cerita seperti itu berlalu tanpa ada pelajaran yang tertinggal. Pasalnya, aksi opera sabun atau permainan gajah tersebut sudah menjadi berita dunia, juga bukan kejadian pertama kali di dunia olahraga di Tanah Air. Membiarkannya, melupakannya atau bahkan memakluminya justru akan menjadi preseden sangat buruk bagi kemunculan cerita memalukan yang sama pada masa yang akan datang.

Rasa keprihatinan hingga ungkapan kecaman keras sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Sanksi dan penanganan sudah diambil sesuai dengan yang semestinya. Pembinaan terhadap malpraktik dalam proses kompetisi tersebut pasti juga telah dilakukam oleh pihak terkait. Tapi siapa yang berani menjamin bahwa 'infeksi' serupa tidak akan datang berulang? Mungkin bukan pada orang yang sama di ajang serupa, tapi pada atlet lain pada nomor dan event yang berbeda. Bukan hanya covid-19, virus malpraktik seperti itu pun juga bisa mengalami mutasi dan menyerang tanpa ada gejala yang terlihat.

Panggung mulia olahraga

Arena kompetisi olahraga pada dasarnya berupa panggung mulia yang terkonstruksi oleh nilai-nilai universal yang bersifat cerah dan terang benderang. Panggung fair play dan sportivitas memiliki setidaknya 3 (tiga) ciri utama. Pertama, olahraga mengajarkan tentang obyektivitas. Laga antar-atlet secara individu atau tim ditampilkan sangat terbuka. Syarat penyinaran, kecepatan angin, temperatur, ukuran arena, lay out, dan aneka view teknis diciptakan dalam ukuran standar untuk memenuhi tuntutan panggung super-obyektif. 

Misalnya dalam lintasan lari 100 m, dipastikan bahwa pelari yang memasuki garis finis paling awal adalah yang memiliki catatan terpendek. Ada masalah besar bila pelari yang datang belakangan justru dicatat memiliki waktu yang lebih pendek. Demikian pula untuk hal yang lain, begitulah panggung olahraga terang benderang mendudukkan obyektivitas sebagai kriteria wahid. Perangkat berupa kamera berteknologi tinggi pun bahkan dihadirkan dan ditambahkan sebagai penguat aspek obyektivitas panggung olahraga.

Kedua, panggung olahraga adalah panggung kompetisi dan daya saing. didesain untuk merepresentasikan nilai kompetisi dan daya saing dalam kehidupan yang luas di luar arena olahraga. Dalam olimpiade modern telah lama dikenal jargon kompetisi lebih cepat (citius), lebih tinggi (altius), dan lebih kuat (fortius).  Satu kesatuan spirit untuk daya saing dan pertumbuhan berprestasi. Untuk menjadi champion, setiap peserta kompetisi harus unggul dari yang lainnya. Pada saat bersamaan setiap peserta kompetisi harus lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat dari waktu-waktu yang lalu. Mereka berkompetisi dengan orang lain, sekaligus juga menerima tantangan dari dalam dirinya sendiri untuk tumbuh.

Ketiga, panggung olahraga memiliki karakteristik dasar sebagai ajang yang menjunjung tinggi olympsm values, terutama persahabatan (friendship), berkeunggulan (excellence), dan rasa hormat (respect). Satu kesatuan nilai marwah mulia panggung olahraga yang dalam implementasinya cenderung dijadikan sebagai kriteria lapis kedua yang terkalahkan oleh 'nilai-nilai pragmatis lain'. Nilai pragmatis yang didominasi oleh tuntutan jangka pendek dan pengejaran keuntungan-keuntungan material-finansial secara cepat dan mudah. Fenomena match fixing adalah fenomena gunung es dalam wujud pencederaan olympsm values ini.

Ruang remang sportivitas

Tidak mudah mendeteksi secara terang benderang aneka praktik pencederaan fair play, terutama malpraktik match fixing. Di balik panggung olahraga yang terang benderang, masih tersedia banyak ruang yang remang-remang. Remang karena posisinya yang jauh terkontrol dari panggung utama atau diremangkan oleh match fixer yang memiliki 'kecerdasan interpersonal' yang sangat tinggi dan memengaruhi elemen inti panggung performa olahraga. Aksi match fixer itu sangat rapi dan sangat menguasai sisi remang panggung sportivitas. Beraksi bak sutradara yang tanpa naskah dan kameramen tapi mampu mengubah cerita di panggung.

Panggung olahraga di samping tiga bentuk seperti diuraikan di depan, secara fungsional menarasikan performa sebuah tuntunan dan tontonan. Ketiga panggung sebelumnya menjelaskan bahwa olahraga itu memiliki sisi tuntunan. Dari sisi tontonan inilah, maka ada persoalan wilayah remang-remang yang kemudian mengundang berbagai kepentingan eksternal yang acapkali terlepas dari esensi keolahragaan, bahkan membuang jauh ruh utama olympism values. Salah satu yang hadir dan memberikan bayang-bayang cemas panggung olahraga adalah berupa bisnis perjudian.

Perjudian telah menginfeksi panggung olahraga sejak panggung olahraga dibangun dalam peradaban manusia. Perjudian itu laksana kentut, tidak bisa terlihat wujudnya tapi keberadaannya tertangkap oleh baunya. Sayangnya, pembuktian keberadaannya tidak cukup dengan baunya. Selesai urusan dengan cara menutup hidung atau memakai masker. Olahraga sebagai tontonan menarik sering menjadi obyek rapuh dari niat jahat para gambler dan match fixer untuk meraup keuntungan besar secara material di balik panggung pertunjukan olahraga.

Sisi kerapuhan yang membuka peluang para pelaku olahraga; bisa atlet, pelatih, wasit, dan lain-lain rela bermain opera sabun dalam skenario pengendalian bisnis perjudian. Performa atlet menjadi seperti aksi panggung ketoprak humor yang urusan menang-kalah bisa diatur ceritanya. Aksi bisnis perjudian memang merupakan virus sangat berbahaya di panggung olahraga di samping masalah doping, pencurian umur, dan pemalsuan identitas jenis kelamin atlet.

Melengkapi penindakan pelanggaran kode etik yang terus disempurnakan oleh pihak terkait di ranah tata kelola olahraga, tentu harus ada upaya-upaya lain yang lebih mendasar dan berkelanjutan. Perlu dirumuskan formula ampuh yang terpercaya untuk aspek preventifnya. Setidaknya ada 3 (tiga) formula inti untuk menghindari sisi kerapuhan tersebut; pertama, penghargaan pelaku olahraga menjadi catatan tersendiri untuk menciptakan daya tangkal. Kesejahteraan yang mendasar dan murwat bukan sekadar dalam bentuk jor-joran bonus, karena bukan kah para match fixer itu jauh lebih piawai dalam hal seperti itu. Kesejahteraan yang keren adalah yang bersifat mengukuhkan passion dalam konteks patriot olahraga.

Kedua, ruang bisnis olahraga dimulai secara terbuka dan progresif untuk hal-hal yang realistis dan prospektif. Perlu dilakukan upaya edukasi yang lengkap bahwa olahraga itu ranah sosial yang tidak bisa steril dari ranah bisnis. Tentu saja 'bisnis putih' yang dibangun secara sinergi turut membesarkan potensi ekonomi keolahragaan untuk berkontribusi pada kesejahteraan pelaku olahraga dan masyarakat secara luas. Bangunan bisnis tersebut akan memproteksi datangnya virus jahat perusak yang bergenre bisnis perjudian.

Ketiga, proses pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi tidak difokuskan pada pertumbuhan hard skill atlet semata demi mengejar peak-performance di event tertentu. Performa atlet yang tumbuh progresif adalah parameter yang sangat penting, tetapi persoalan soft skill atlet justru menjadi hal yang perlu menjadi pusat perhatian. Bukan sekadar memperkuat mentalitas dan daya juang sebagai elite atlet, tetapi menumbuhkan etos excellence dan respect adalah hal sangat penting agar elite atlet tidak bisa diajak kompromi dengan match fixer.

Belajar dari insiden yang telah terjadi, kita semua pantas bertanya-tanya mengapa proses pencederaan fair play masih terus berpeluang tumbuh subur di dunia olahraga. Hal yang tentu sangat ironis karena dunia olahraga adalah lumbung sportivitas. Ranah olahraga semestinya merupakan ranah inti berpengharapan bagi siapa saja untuk menimba nilai-nilai fair play dan sportivitas. Nilai luar biasa yang bukan hanya dibutuhkan di arena olahraga, tetapi bisa ditransfer dalam kehidupan yang luas. Biarlah opera sabun (telenovela) hanya muncul di layar kaca saja, bukan di panggung mulia olahraga.

BERITA TERKAIT