03 November 2020, 16:55 WIB

Pemohon Minta MK Samakan Jabatan Kepala Daerah dan Penggantinya


Indriyani Astuti | Politik dan Hukum

MI/ADAM DWi
 MI/ADAM DWi
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) memimpin sidang pengujian materi UU Pilkada, di Gedung MK, Selasa (3/11).

REKTOR Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof Djohermansyah Djohan menjelaskan masa jabatan kepala daerah diatur dalam UUD 1945 lima tahun terhitung sejak masa pelantikannya. Adapun periodisasi hanya boleh dua kali saja atau 10 tahun.

"Itu pun kepala daerah yang boleh maju pada periode kedua mereka yang punya prestasi pada periode pertama," ujarnya dalam sidang pengujian materi Pasal 7 ayat (2) huruf n Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota ( UU Pilkada) yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (3/11). 

Djohermansyah bertindak sebagai ahli dari pihak terkait pada sidang uji materi yang diajukan Muhammad Kilat Wartabone tersebut. Wartabone merupakan bakal calon kepala daerah yang telah mendapatkan dukungan melalui jalur perseorangan untuk maju dalam Pilkada serentak Tahun 2020 di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. 

Akan tetapi, peluangnya menjadi calon kepala daerah berpotensi berkurang ketika bupati petahana, Hamim Pou, maju kembali. Hamim, diangkat menjadi bupati pengganti sejak 27 Mei 2013-17 September 2015 menggantikan Bolango Abdul Haris Najmudin yang meninggal. 

Kemudian Hamim Pou terpilih menjadi bupati satu periode untuk masa jabatan 17 Februari 2016-17 Februari 2021 dan pada Pilkada serentak 2020, ia dicalonkan kembali menjadi Bupati Bone Bolango Periode 2021-2026.

Pemohon meminta MK menyatakan frasa 'menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota' dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: 'menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota dan/atau menjadi Pejabat Gubernur, Bupati, Walikota”. 

Menurut pemohon, bupati pengganti dan jabatan bupati sama saja, tidak ada perbedaan. Dengan begitu, Hamim Pou tidak bisa maju kembali karena sudah dua kali menjabat Bupati Bone Bolango.

Prof Djoe, panggilan Djohermansyah, yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) menerangkan wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah hanya berstatus sebagai pelaksana tugas. 

"Karena posisinya sebagai wakil, fasilitasnya dan gajinya tetap sebagai wakil, ketika kepala daerahnya tersangkut hukum, apabila kepala daerah dan wakil kepala berhalangan bisa diangkat sekretaris daerah," terangnya.

Kemudian, apabila kepala daerah berhalangan tetap, baik karena wafat, mengundurkan diri atau diberhentikan, wakil bisa naik menjadi kepala daerah melalui prosedur ketatanegaraan. 

Khusus pengangkatan Bupati sebagai Bupati Bone Bolango Hamim Pou, menurutnya sudah benar secara prosedur menggantikan Najmudin yang meninggal. "Dari uraian ahli, masa jabatan Hamim Pou sebagai bupati kurang dari 2,5 tahun atau tidak bisa dihitung sesuai putusan Mahkamah Konstitusi No 22/2009," paparnya.

Putusan Mahkamah Konsttusi Nomor 22/PUU-VII/2009 menyatakan jika seseorang telah menjabat kepala daerah atau sebagai pejabat kepala daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan.

Pemaknaan tersebut menurut pemohon menimbulkan kerugian sebab tidak adil bila seseorang yang telah menjadi pejabat bupati dalam rentang waktu lebih setengah masa jabatan disamakan dengan bupati yang menjabat kurang dari setengah masa jabatan. 

Namun, Djohermansyah berpandangan tidak demikian. Ia yang ketika itu menjadi Ditjen Ota menjelaskan Gubernur Gorontalo sudah melakukan pelantikan pada Hamim sehingga masa jabatannya terhitung 27 Mei 2013 sampai berakhirnya masa jabatan 17 September 2017 atau 2 tahun, 3 bulan, 21 hari.

Menurutnya wakil kepala daerah meskipun menjabat sebagai pengganti bupati hanya sebagai pelaksana tugas, tidak benar-benar menjadi kepala daerah, begitu juga penghasilan dan fasilitas yang diterima. Oleh karena itu, ia meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat 2 UU Pemda tetap memiliki kekuatan mengikat dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau menolak permohonan pemohon yang menanggap tidak ada perbedaan antara keduanya. (P-2)

BERITA TERKAIT