SAAT seluruh elemen bangsa masih bergulat dengan pandemi covid-19, kini kita justru bergumul dengan wacana ketatanegaraan yang sejati nya tidak perlu. Pembicaraan terkait dengan keabsahan Pilpres 2019 kembali menghangat menyusul keluarnya Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 44P/HUM/2019.
Sesungguhnya putusan ini telah diucapkan pada 28 Oktober 2019. Namun, baru diunggah di laman Direktori Putusan MA RI pada 3 Juli 2020. Tak pelak lagi, dari sini muncullah spekulasi sebagian orang bahwa MA sengaja memublikasikan putusan itu setelah riuh rendah Pilpres 2019 berlalu berbulan-bulan.
Lebih jauh lagi, sebagian orang mengaitkan keluarnya putusan ini dengan konstitusionalitas hasil Pilpres 2019.
Singkatnya, kemenangan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019 dianggap sebagian orang sebagai inkonstitusional atau batal akibat keluarnya putusan tersebut. Padahal, menggunakan putusan ini sebagai pijakan untuk mempertanyakan konstitusionalitas hasil Pilpres 2019, sama sekali tak berdasar dan absurd.
Putusan MA bersifat prospektif alias berlaku ke depan dan tidak berlaku surut. Bahkan, sekiranya diberlakukan surut pun, kemenangan Jokowi-Ma’ruf tetap tak tergoyahkan.
Pasal 6A UUD 1945 mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden yang memenangi pilpres ialah yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu, dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi, yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Seperti diketahui, total suara sah nasional pilpres ialah 154.257.601 dengan rincian Jokowi-Ma’ruf memperoleh 85.607.362 (55,50%) dengan kemenangan di 21 provinsi. Adapun pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memperoleh 68.650.239 (44,50%) dengan kemenangan di 13 provinsi. *Jika jumlah provinsi ialah 34, setengahnya ialah 17. Untuk meraih kemenangan, pasangan calon harus mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di sedikitnya 18 provinsi.
Padahal, selain telah mengumpulkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu, kemenangan Jokowi-Ma’ruf juga telah melebihi 50% di 21 provinsi tersebut. Tidak hanya itu, secara hukum diskursus soal konstitusionalitas hasil Pilpres 2019, semestinya sudah berakhir seiring dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 01/PHPUPRES/XVII/2019.
Putusan MK ini mengadili perkara perselisihan hasil Pilpres 2019 yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Amar putusan majelis hakim MK itu menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.
Dengan demikian, keputusan KPU Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 yang salah satunya menetapkan kemenangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 ialah sah.
Bertindak terlalu jauh
Seperti diketahui, Putusan MA Nomor 44P/HUM/2019 itu bermula dari pengajuan permohonan keberatan hak uji materi oleh Rachmawati Soekarnoputri dkk terhadap ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Pasal 3 ayat (7) itu berbunyi, ‘Dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon dalam pemilu presiden dan wakil presiden, KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih’. *Ketentuan di atas memang merupakan tambahan yang tidak diatur secara eksplisit oleh Pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ataupun Pasal 6A UUD 1945.
Oleh karena itu, Putusan MA Nomor 44P/HUM/2019 menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan karenannya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam hukum memang dikenal asas res judicata pro veritate habetur (putusan hakim harus dianggap benar). Namun, kita harus tetap kritis agar kualitas putusan tetap terjaga di masa yang akan datang. *Setelah mencermati Putusan MA Nomor 44P/HUM/2019, kita perlu mengajukan catatan penting untuk menjadi bahan perbaikan ke depan.
MA telah bertindak terlalu jauh dengan mengambil peran MK selaku penafsir terakhir konstitusi (the final interpreter of the constitution).
Hal ini tampak dalam salah satu pertimbangan hukum (halaman 56) yang menyatakan bahwa PKPU Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Pasal 6A UUD 1945. Padahal, hak uji materi MA hanya berada pada aras legalitas (konsistensi peraturan di bawah undang-undang dengan undang-undang), bukan pada aras konstitusionalitas (konsistensi undang-undang dengan UUD 1945).
Maka, MA tak perlu mengaitkan konstitusionalitas PKPU Nomor 5 Tahun 2019 dengan Pasal 6A UUD 1945. Celakanya, kesimpulan MA soal inkonstitusionalitas PKPU Nomor 5 Tahun 2019 terhadap Pasal 6A UUD 1945 itu bertentangan dengan Putusan MK Nomor 50/PUU-XII/2014 yang telah menafsirkan Pasal 6A UUD 1945.
Dalam pertimbangan hukum putusan itu, MK berpendapat bahwa memang tidak ada penegasan bahwa Pasal 6A UUD 1945 dimaksudkan jika pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih dari dua. Namun, melihat konteks lahirnya pasal itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembahasan pada saat itu terkait dengan asumsi pasangan calon presiden dan wakil presiden lebih dari dua.
Dengan mendasarkan pada penafsiran gramatikal dan sistematis, MK berkukuh bahwa ketentuan harus mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum, dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, hanya berlaku jika jumlah pasangan calon lebih dari dua.
Jika hanya dua pasangan calon, pasangan calon terpilih ialah yang memperoleh suara terbanyak tanpa syarat tambahan lagi. *Semestinya hak uji materi MA dijalankan secara bertanggung jawab agar tidak menimbulkan kekacauan ketatanegaraan.