BERKAIN dan tubuh berlumur warna merah, begitulah ciri khas penampilan
suku Waiapi. Selama turun-temurun mereka telah menjadi bagian dari
denyut pedalaman Amazon. Hidup dan mati dalam hutan hujan tropis terbesar dan terkaya di dunia itu.
Namun, kini salah satu suku paling langka tersebut tengah menghadapi perang terbesar mereka. Perang yang mungkin menentukan kelangsungan mereka di muka bumi.
Lawan mereka bukanlah hewan buas ataupun cuaca yang kian tidak bersahabat, melainkan perusahaan tambang internasional yang kian merangsek ke dalam hutan. Menghadapi 'sang goliath' dengan mesin-mesin pengeruk perut bumi itu suku Waiapi mengucap sumpah ultimatum. Suku yang populasinya sudah terkuras akibat wabah campak yang dibawa
orang kulit putih 50 tahun lalu itu bersumpah akan melawan dengan setiap nyawa yang mereka punya.
Jika mau, suku Waipi sesungguhnya juga dapat bersaing dengan warga kebanyakan dalam hal intelektualitas maupun kiprah. Ini dibuktikan
dengan salah satu anggota suku mereka, Jawaruw Waiapi yang ditunjuk sebagai dewan kota pada tahun lalu.
Jawaruw mengunjungi kota terdekat, Pedra Branca, setiap minggu. Kota ini berjarak dua jam berkendara dari wilayah suku Waiapi. Saat
berada di Pedra Branca, Jawaruwa mengganti kain merahnya dengan celana jins dan kemeja rapi, kemudian duduk di belakang meja.
Perjuangan Waiapi sesungguhnya ialah perjuangan alam. Keberadaan mereka selama ini telah menjadi penjaga bagi Amazon. Tanpa keberadaan
mereka, mungkin telah lama Amazon diusik banyak pihat yang hanya ingin mengambil keuntungan.