23 March 2023, 06:00 WIB

Puasa: Mencontoh Sifat Tuhan


Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal | Ramadan

MI/Seno
 MI/Seno
Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal

BULAN Ramadan kembali tiba dan kita kembali berpuasa. Lalu kenapa puasa begitu penting dalam Islam? Puasa tentu bukan sekadar menahan lapar, dahaga, dan hubungan seks. Yang teramat penting puasa ialah latihan spiritual untuk mencontoh sifat-sifat Tuhan, seperti dalam hadis yang berbunyi takhallaqu bi akhlaqillah (berakhlaklah sebagaimana akhlak Allah SWT).

Al-Qur'an juga menyebutkan huwa yuth’im wa la yuth’am (Tuhan memberi makan dan tidak diberi makan) (QS.6:14) dan lam takun lahu shahibah (Tuhan tidak memiliki pasangan) (QS.6:101).

Internalisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri merupakan perjalanan spiritual manusia untuk mendekati Tuhannya.

Harapan terakhir kita dengan menjalankan ibadah puasa agar mencapai kualitas mutakin (orang-orang takwa), suatu kualitas spiritual yang paling mulia dan didambakan setiap orang. Mutakin tidak lain ialah mengombinasikan sikap cinta dan segan kepada Allah SWT.

Mutakin tidak tepat diartikan takut kepada Allah SWT karena Allah SWT yang diperkenalkan kepada kita melalui al-asma' al-husna-Nya, bukan sosok Maha Mengerikan untuk ditakuti, tetapi lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pencinta dan Maha Penyayang. Apalagi terhadap manusia yang Allah ciptakan dengan cinta.

Internalisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri kita dicontohkan oleh pribadi Rasulullah SAW. Dalam perspektif tasawuf, al-asma’ al-husna tidak hanya menunjukkan sifat-sifat Allah SWT, tetapi juga menjadi titik masuk untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Salah satu bentuk kemahapengasihan Tuhan ialah menganugrahkan Ramadan (secara harfiah: penghancur, penghangus). Setelah 11 bulan manusia terasing di dalam kehidupan yang kering dan penuh dengan suasana pertarungan maka dalam Ramadan kita diajak untuk kembali ke kampung halaman rohani, yang menyejukkan serta penuh dengan suasana lembut. Bulan Puasa ibarat oase yang siap memberi kepuasan spiritual kepada orang yang menjalaninya dengan ikhlas dan sepenuh hati.

Agak aneh memang, Tuhan yang sedemikian lembut menampilkan diri-Nya, ayat-ayat Al-Qur’an sedemikian santun menyapa anak manusia, dan Nabi Muhammad SAW tampil sedemikian menawan, lebih menojolkan sikap-sikap kelembutan dan kesantunan, tetapi umat Islam malah sebagian bertentangan perilakunya dengan sifat-sifat yang dilakukan Nabi dan Tuhan.

Islam tidak pernah menoleransi pemeluknya melakukan tindakan kekerasan, bukan karena kepentingan diplomasi, melainkan substansi kekerasan itu sendiri tidak sejalan dengan sifat-sifat utama Tuhan yang diperkenalkan dalam al-asma’ al-husna’-Nya.

BERITA TERKAIT