BUAH pemikiran Al Mawardi tentang politik dalam kitab Al-Ahkaamu 'Sulthaaniyyah mengedepankan sikap antimonopoli atas sumber daya alam. Khususnya tanah atau lahan, air, hingga tambang.
Dalam kitab tersebut Al Mawardi menjabarkan perjalanan perebutan kekuasaan dari upaya kepemilikan lahan oleh para orang bermodal.
Pemikiran Al Mawardi tentang penguasaan sumber daya alam dan politik terkaitnya lahir dari pengamatan dan riset mandirinya tentang kehidupan pada abad ke-10. Tepatnya di era kejayaan Dinasti Abbasiyah tepatnya di bawah kekuasaan pemerintahan Al-Qadir Billah.
Dalam program Bahtsul Kutub Daras Kitab Al-Ahkaamu 'Sulthaaniyyah karya Al-Mawardi yang diselenggarakan Partai NasDem, Kamis, (7/4), Kepala Pusat Litbang Kemenag RI, Arskal Salim, mengatakan Al Mawardi mengatakan pada awalnya di era tersebut kepemilijan tanah dapat dilakukan oleh setiap orang dengan membangun hunian dan memeliharanya sebagai lahan pertanian. Namun, seiring berjalannya waktu mulai ada pemisahan-pemisahan.
"Ada pemikiran tentang bagaimana akhirnya tanah mulai dibagi di antaranya mana yang dikuasai negara dan bagaimana distribusi alokasi tanah oleh penguasa," ujar Arskal dalam diskusi dengan tema pembahasan berjudul Problem Pertanahan dan Kebijakan Feodalisme tersebut.
"Al Mawardi juga menyebut wilayah terbagi dua urban dan rural atau pedalaman yang ditandai dengan pertanian atau perkebunan," ujarnya.
Di tengah masih nihilnya pemikiran-pemikiran tentang pengelolaan sumber daya alam, Al Mawardi sudah menyebutkan tentang pentingnya keberlanjutan area pertanian. Pertanian ditegaskannya sebagai pilar utama kehidupan masyarakat yang harus dijaga oleh pemerintahan.
Baca juga: Ramadan Puncaknya Kedermawanan Rasulullah
Pada awalnya sistem tersebut berjalan baik. Pihak penguasa di pemerintahan atau istana dapat mengelolan distribusi tanah dan pemanfaatannya.
"Tanah di masa itu adalah juga sumber pemasikan utama bagi baitul maal. Dari sana bisa membiayai tentara hingga pegawai-pegawai istana," ujarnya.
Namun, seiring waktu mulai terjadi swastanisasi. Kondisi mulai diperparah dengan terjadinya perang-perang yang membuat pencatatan hak pengelolaan dan kepemilikan tanah menjadi berantakan. Sejak saat itu upaya pihak bermodal untuk menguasai tanah, khususnya lahan pertanian, mulai menguat.
Tak hanya lahan, upaya untuk menguasai sumber alam saat itu juga dilakukan pada air dan tambang. Hal itu terus terjadi dan menjadi masalah pelik yang sulit diatasi oleh penguasa yang berwenang memerintah dari masa ke masa.
Hingga saat ini di era modern, masalah tersebut juga terus terjadi. Di Indonesia, problem pertanahan merupakan salah satu problem kebijakan yang masih membutuhkan penangan sampai sekarang. Mulai dari bagaimana tanah tersebut digarap menjadi lahan pertanian, hingga persoalan hak-hak kepemilikan atasnya.
Sampai sekarang di negeri ini masih banyak lahan tanah yang tidak dimanfaatkan secara baik untuk mendongkrat kesejahteraan melalui sektor pertanian. Problem semacam ini sudah pernah dipikirkan oleh Al-Mawardi sejak ratusan tahun silam. (A-2)