PAKAR hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini mencium aroma politis di balik upaya pemerintah mempercepat jadwal Pilkada 2024 ke September dengan cara menerbitkan perppu. Pasalnya, alasan yang disampaikan pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dinilai tidak konsisten dari sikap pemerintah sebelumnya.
"Ketika dulu ada tuntutan banyak pihak untuk mengubah UU Pilkada, pemerintah berkeras bahwa UU Pilkada dan model keserentakan yang ada sudah baik dan mestinya dilaksanakan terlebih dahulu," terang Titi kepada Media Indonesia, Kamis (21/9).
Selain itu, Titi juga menyoroti sikap pemerintah yang pernah menolak permintaan kelompok masyarakat sipil agar jabatan kepala daerah definitif yang masa jabatannya habis sebelum Pilkada 2024 diperpanjang ketimbang mengangkat penjabat. Oleh karena itu, Titi menyebut pemerintah kontradiktif jika saat ini justru mengeluh soal penjabat.
Baca juga : Mendagri Sebut Pilkada Maju ke September 2024 Rasional
"Maka sangat wajar kalau ditengarai ada aroma politik di balik pemajuan jadwal ini," katanya.
Baca juga : PKS Nilai Wacana Majukan Pilkada Ide yang Bagus
Titi mengatakan, seharusnya Presiden Joko Widodo tidak membiarkan publik berspekulasi dengan mengaitkan upaya percepatan Pilkada 2024 dengan wacana pencalonan anggota keluarganya. Pilkada, lanjutnya, akan lebih objektif jika tetap digelar pada November 2024 dan menjadi agenda politik pertama bagi presiden terpilih.
"Sekaligus tujuan keselarasan visi presiden baru dan kepala daerah lebih bisa terwujud," jelas Titi.
Di samping itu, percepatan Pilkada 2024 ke September juga bakal mengurangi waktu persiapan bagi penyelenggara pemilu dan merugikan partai politik. Sebab, partai politik tidak memiliki waktu yang banyak dalam membangun soliditas politik internal untuk persiapan pencalonan kepala daerah setelah mengikuti kontestasi Pemilu 2024.
Terpisah, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari menyoroti wacana adanya upaya membuat Pilpres 2024 hanya diikuti dua poros saja. Menurutnya, hal itu merupakan rekayasa elektoral yang jahat guna memudahkan persaingan politik sembari mengorbankan pemilih mendapatkan calon alternatif.
Feri juga mengatakan, upaya tersebut sekaligus mengebiri hak-hak konstitusional partai politik yang memiliki ambang batas untuk mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Jika wacana itu benar terjadi, ia mengatakan hal tersebut merupakan dampak buruk dari upaya mengendalikan konstitusi sesuai dengan kepentingan politik.
"Bukankah membatasi calon juga berarti mengabaikan hak pemilih untuk mendapat calon alternatif dan pengayaan-pengayaan cara pandang berbeda dalam proses penyelenggaraan negara?" tandas Feri. (Z-8)