01 September 2023, 22:39 WIB

PDIP Ingin MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi, Pengamat: Kemunduran Demokrasi


Media Indonesia | Politik dan Hukum

Dok MI
 Dok MI
Ilustrasi

WACANA amendemen UUD 1945 belakangan kembali mencuat ke publik. Salah satu alasannya untuk mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Hal itu pernah dikemukakan Ketua MPR Bambang Soesatyo

Pengamat politik dari Citra Institute, Efriza menilai wacana mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah kemunduran demokrasi. Menurutnya, para pengambil kebijakan mesti melangkah lebih maju dengan sistem yang sudah berjalan sekarang.

Baca juga: Jokowi Disebut Sedang Bermanuver Imbangi Megawati

"Semestinya kita melangkah lebih maju. Pola pikir MPR sebagai lembaga tertinggi negara kembali apalagi sampai kedaulatan rakyat dihilangkan ini adalah kemunduran demokrasi. Gagasan ini pada dasarnya semakin menunjukkan watak kita membangun sistem pemerintahan tidak jelas, memilih sistem presidensial atau sistem parlementer," ucapnya lewat keterangan yang diterima, Jumat (1/8).

Baca juga: Megawati Cerita Suasana Jelang Pemilu seperti Suasana Dansa, Jokowi Bingung

Konsep sebelum reformasi, jelasnya, adalah menjadikan MPR sebagai lembaga yang dapat berbuat apapun (omnipotent), bahkan berada di atas semua lembaga negara yang lainnya (supremacy). Akhirnya, MPR dapat menjadi lembaga diktator karena tiada suatu lembaga lain yang dapat mengimbangi kekuasannya.

"Sekarang kita sudah menempatkan kedaulatan rakyat dan supremasi konstitusi, kedaulatan tetap berada di tangan rakyat. Ini menunjukkan kita yang menginginkan MPR hanya berfungsi sebagai lembaga formal yang tidak terkait langsung dengan konsep kedaulatan rakyat," ucapnya.

"Tidak hanya itu, MPR juga tidak lagi sebagai puncak kelembagaan dari teori pembagian kekuasaan yang masa lalu dianut," sambungnya

Menempatkan gagasan supremasi parlemen dengan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, menurutnya, selalu melahirkan pemerintahan otoriter dan terlihat dari dua orde sebelumnya.

Baca juga: Ada Penunggang Gelap Ubah Konstitusi

Ia menyebut, rakyat juga sudah menyaksikan apa yang diputuskan MPR seringkali tidak sesuai dengan apa yang dinginkan oleh rakyat yang diwakili.

"Sebut saja ketika MPRS mengangkat Soekarno presiden seumur hidup, dapat dipastikan rakyat belum tentu setuju, Demikian pula, ketika MPR memutuskan untuk terus mengangkan Soeharto menjadi presiden selama 30 tahun lebih, tentu saja tidak sesuai kehendak rakyat," terangnya.

Lebih lanjut, ia juga menyoroti keinginan Ketua Umun PDIP Megawati Soekarnoputri ingin menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Menurutnya, Megawati dan PDIP lebih mengedepankan adanya GBHN maupun kebijakan berkelanjutan dengan adanya pengawasan.

"Dari konsep ini memang ujungnya memungkinkan kepada MPR menjadi lembaga tertinggi negara kembali. Ini yang semestinya dihasilkan dorongan pemikiran ingin seperti apa konsep berkelanjutan pengelolaan negara, bukan melangkah kepada keadaan yang dapat terjadinya kemunduran demokrasi," tuturnya.

"Jika itu yang terjadi, diinginkan oleh PDIP. Artinya, PDIP belum bisa melepaskan masalah masa lalu," sambungnya.

Baca juga: MPR Kaji Efektifitas Pemilu Langsung, Ungkap Pemahaman Masyarakat soal 4 Pilar

Sebelumnya, Megawati bercerita tentang zaman Orde Baru di mana ada penyimpangan sejarah. Hal itu disampaikannya saat hadir pada acara peresmian Patung Bung Karno di Omah Petroek, Sleman, DIY, Rabu (23/8).

"Sejarah dari sini sampai sekarang kalau saya lihat ini permasalahan politik dan geopolitik. Mengapa, ketika zaman Pak Harto, saya dengan segala hormat saya, atau zaman orde baru mengapa kita melihat itu bahwa penyimpangan sejarah sebenarnya," kata Megawati.

Megawati menerangkan, beberapa tahun sebelum Soekarno lengser, ayahnya itu telah diangkat sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS. Namun, Bung
 Karno kemudian dituduh bermitra dengan PKI yang dinyatakan terlarang dan dibubarkan 1966. (H-3)

BERITA TERKAIT