GERAKAN reformasi telah berlalu 25 tahun di Indonesia. Namun proses penyelesaian tragedi 1998 sampai saat ini hanya sedikit titik terang.
Pada 1 Januari 2023, Presiden Jokowi menyatakan negara mengakui dan menyesalkan 12 pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Tiga pelanggaran HAM berat termasuk peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa kerusuhan Mei 1998, dan peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999 dengan penyelesaian non-yudisial namun tanpa menegasikan mekanisme yudisial.
Baca juga: Kemenkumham Kaji Pembentukan Kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Dengan langkah konkret dengan menginstruksikan kepada Menteri Koordinator Poitik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD untuk mengawal proses penyelesaiannya.
Namun sampai saat ini masih menyisahkan persoalan yang mendasar tentang bagaimana proses penyelesaian dan penanganan HAM masa lalu.
Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera merespons soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. "Kami yang tergabung dalam Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera dalam mensikapi tragedi 1998 hanya menginginkan adanya pengakuan negara terhadap penghilangan nyawa secara paksa dan pemulihan hak – hak para korban," kata Ketua Umum Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera Revitriyoso Husodo dalam keterangan, Senin (31/7).
"Pelanggaran HAM akan menimbulkan kerugian yang harus diderita oleh korban maupun oleh keluarga korban, oleh karena itu korban korban merupakan pihak yang harus mendapatkan pemulihan kerugian dari terjadinya pelanggaran HAM," jelasnya.
Baca juga: 12 Pelanggaran Berat HAM yang Diakui Jokowi, Tragedi Rumoh Geudong Salah Satunya
Sebagai contoh Islah perdamaian yang terjadi diserambi Mekah yang terjadi pada saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla sampai dengan saat ini berjalan dengan damai bahkan banyak perubahan yang siknifikan di tanah Rencong tersebut.
"Pengakuan negara terhadap terjadinya penggaran HAM dan ganti kerugian bagi korban pelanggaran HAM merupakan sesuatu yang selama ini diidam–idamkan, negara seharusnya bertanggung jawab dan memberikan jaminan hak asasi termasuk hak korban," ucap Revitriyoso.
"Berbagai upaya yang dilakukan untuk mendapatkan keadilan (in casu pelanggaran HAM) belum menemukan titik terang yang dapat melindungi korban," katanya.
"Hingga muncul sebuah pemikiran tentang kemungkinan penerapan restorative justice, keadilan restoratif dalam pelanggaran HAM," terang Revitriyoso.
Baca juga: Pemerintah Beri Bantuan Prioritas Non-Yudisial bagi Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat
Sistem hukum pidana di Indonesia mengalami babak baru, di mana restorative justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama – sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Dalam restorative justice, alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait.
Baca juga: Aktivis 98 Kecewa Budiman Sudjatmiko Perlihatkan Dukungan ke Prabowo
"Prinsip dasar restorative justice adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya," ujarnya.
"Penyelesaian masalah hukum diselesaikan di luar pengadilan peyelesaian dengan cara musyawarah mufakat sesuai dengan landasan Pancasila sila keempat," papar.
"Tujuan utama dari restorative justice itu sendiri adalah pencapaian keadilan yang seadil-adilnya terutama bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya, dan tidak sekedar mengedepankan penghukuman," jelasnya.
"Restorative Justice adalah suatu pendekatan baru dalam bidang hukum Pidana yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku atau “daad dader straftecht” para ahli hukum telah memperkenalkan formula keadilan khususnya dalam pendekatan HAM," kata Revitriyoso. (RO/S-4)