BELUM lama ini, publik dibuat heboh dengan kasus Al Zaytun. Tak melulu karena ajaran agamanya yang dinilai menyimpang, namun juga karena bangunan pondok pesantren yang dipimpin Panji Gumilang itu sedemikian megah.
Baca juga: Pemeriksaan 2 Saksi Kasus TPPU Panji Gumilang Ditunda
Hal itu memancing publik untuk bertanya-tanya, dari mana asal pendanaan pesantren yang terletak di Indramayu, Jawa Barat tersebut. Sama halnya dengan mengkaji kasus Al Zaytun, mengkaji aksi-aksi terorisme dilihat hubungannya dengan narasi keagamaan telah banyak dieksplorasi. Akan tetapi kajian terorisme dan keterkaitannya dengan pendanaan masih belum banyak diekspos ke permukaan.
Baca juga: 8 Saksi Kasus Pencucian Uang Panji Gumilang Diperiksa Polisi, Siapa Saja?
Hal inilah yang menjadi pijakan Noor Huda Ismail dalam menulis buku berjudul Narasi Mematikan: Pendanaan Teror di Indonesia yang diluncurkan di Universitas Paramadina Jakarta, Kamis (27/7). Dalam buku karyanya yang kedua ini, Noor Huda menceritakan bagaimana kelompok-kelompok teroris dalam mencari pendanaan untuk melakukan aksi mereka ternyata telah mengalami transformasi.
Baca juga: Kinerja BNPT Diapresiasi Turunkan Kuantitas Aksi Terorisme
Tidak hanya merampok, kini kelompok-kelompok tersebut juga memperoleh pendanaan melalui jalur-jalur formal seperti mendirikan LSM, yayasan, lembaga pendidikan, serta memakai teknologi baru seperti cryptocurrency.
"Dari sini ternyata terjadi pergeseran strategi, dan narasi telah menjadi unsur penting untuk mendapatkan pendanaan tersebut," kata Huda lewat keetrangan yang diterima.
Huda menekankan bahwa tujuan diterbitkannya buku ini adalah untuk menciptakan kesadaran bagi para pemangku kepentingan agar memperhatikan isu ini secara serius. Alumnus Monash University, Australia, ini melihat sudah banyak pemangku kepentingan yang menangani isu terorisme, mulai dari Kejaksaan Agung, Badan Intelijen Negara (BIN), Kementerian Sosial, hingga Kementerian Luar Negeri. Namun dirinya melihat koordinasi antar-instansi tersebut kurang terjalin dengan baik.
"Saya berharap buku ini bisa menciptakan institutional memory di masing-masing lembaga tersebut, sehingga ketika seorang pejabat digantikan orang lain transfer knowledge-nya bisa lebih lancar," ujar Noor Huda.
Di samping itu, melalui bukunya tersebut Huda juga mendorong adanya desentralisasi penanganan pencegahan terorisme. Pasalnya, ia melihat selama ini penanganan isu-isu terorisme terlalu Jakarta-sentris.
"Saya melihat pengetahuan antara pusat dengan daerah sangat jomplang. Padahal banyak dari kasus terorisme lahir di daerah-daerah," tandasnya.
Noor Huda juga berharap adanya kesiapan masyarakat di Indonesia menghadapi fenomena terorisme. Ia mengutip data dari World Giving Index 2022 saat Indonesia menjadi negara dermawan nomor wahid di dunia.
"Tak terhindarkan, kedermawanan ini menjadi celah yang dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan mereka," kata Huda.Munir Kartono, salah seorang credible voice, memverifikasi bahwa pendanaan merupakan urat nadi dalam tindakan terorisme selain ideologi.
"Di saat aksi terorisme yang menurun maka pendanaan terorisme bak hantu yang terus bergerilya mencari celah dan cara baru untuk tetap bergerak," timpal Munir yang menjadi salah satu panelis.
Munir yang eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan mantan simpatisan ISIS tersebut membeberkan bahwa buku ini tidak hanya berisi tentang informasi tentang aksi-aksi pendanaan terorisme.
"Tapi buku ini juga menunjukkan bagaimana orang-orang yang terlibat dalam tindak pidana terorisme juga ada yang terpelajar, tidak gaptek, dan terus berusaha dengan teknologi untuk melakukan aksi pendanaan terorisme untuk masa depan," katanya.
Selain menghadirkan Noor Huda dan Munir, acara yang dihadiri puluhan pemangku kepentingan tersebut juga menghadirkan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Mirra Noor Milla; Ketua Program Magister Ilmu Agama Islam Universitas Paramadina, Subhi Ibrahim; serta Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini yang bertindak sebagai keynote speaker. (H-3)