DIREKTUR Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan mendesak pemerintah melakukan investigasi komperehensif dalam membuktikan tudingan adanya keterlibatan petinggi Pondok Pesantren Al-Zaytun, di Indramayu, Jawa Barat, dengan Negara Islam Indonesia (NII).
Seperti diberitakan Pimpinan pondok pesantren tersebut Panji Gumilang tengah diduga melakukan ajaran menyimpang, dikuatkan dengan hasil investigasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kementerian Agama juga berencana membekukan izin Pesantren Al-Zaytun.
“Dalam konteks Al-Zaytun, pemerintah harus membuktikan dugaan anti-pancasila, radikal dan lain-lain melalui investigasi. Pembekuan juga tidak menutup urgensi untuk melakukan investigasi,” ujar Halili ketika dihubungi, Sabtu (24/6).
Baca juga : Mahfud MD dan Ridwan Kamil Bahas Nasib Ponpes Al-Zaytun Panji Gumilang
Salah satu yang menjadi pertanyaan besar publik adalah mengapa isu Al-Zaytun tidak ditangani sejak tahap awal?
Sebab, menurutnya isu ini sudah lama mencuat. Namun, penangananya tidak dilakukan secara komprehensif. Dalam pemberitaan, beberapa pihak menduga isu Al-Zaytun dimunculkan atas alasan politis menjelang pemilihan umum (pemilu) 2024.
Baca juga : Tidak Tegasnya Pemerintah terhadap Al-Zaytun Picu Spekulasi Ada ‘Backing’ Orang Kuat
“Ini bukan barang baru, salah satu yang jadi analisis kita semua bagaimana backing (berada di balik) berdirinya lembaga itu. Salah satu yang mencuat adalah keterlibatan tentara (backing). Itu mesti mendapat perhatian dari pemerintah. Pemerintah harus melakukan investigasi yang sifatnya komprehensif jangan hanya pendidikannya,” tutur Halili.
Al-Zaytun dan Pilpres 2024
Investigasi, terang Halili, dilakukan untuk melihat struktur Al-Zaytun seperti apa, baik struktur resmi maupun tidak resmi. Hanya dengan kajian komprehensif, ujarnya, masalah yang melibatkan Al-Zaytun bisa diselesaikan sehingga tidak menjadi isu musiman.
“Kalau dikaitkan dengan pemilihan presiden, mungkin saja. Tetapi tugas pemerintah bukan melihat sisi politik tetapi melakukan tindakan komprehensif, basisnya bukan salah sangka tetapi investigasi menyeluruh,” tuturnya.
Menurutnya penegakan hukum perlu dikedepankan dalam penanganan masalah ini. Selain itu, Setara juga meminta pemerintah untuk memperhatikan hak-hak para jemaah dan santri.
Berdasarkan laporan yang diterima dari lapangan, Halili mengatakan respons masyarakat terhadap jemaah Al-Zaytun keras sekali. Jangan sampai, ujar dia, presekusi yang terjadi dengan Kelompok Gafatar, yang pernah diduga makar beberapa tahun lalu, dialami oleh jemaah Al-Zaytun yang mungkin saja korban dari sistem yang berkembang di pesantren tersebut.
“Ini harus diantisipasi oleh pemerintah, jangan sampai apa yang terjadi pada Kelompok Gafatar terulang pada jemaah Al-Zaytun. Gafatar itu dulu diduga melakukan makar tetapi pengadilan membuktikan mereka tidak terbukti makar. Tetapi tetap tokoh-tokohnya di penjara dengan alasan penistaan agama, ini abu-abu,” tukasnya.
Jangan sampai para jemaah Al-Zaytun dikaitkan oleh aliran tertentu, tetapi di sisi lain dia mengorbankan hak-hak publik masyarakat dan para santrinya.
"Kalau dikaitkan dengan pilpres, saya tidak melihat ini sebagai isu utama. Isu pentingnya harus ada investigasi komprehensif, kalau ada elemen tentara yang bermain buka seterang-terangnya. Kalau memang ada pelanggaran hukum, itu harus dikedepankan dibandingkan dengan pandangan-pandangan publik," tegasnya.
Setara Institute melihat penolakan publik Indonesia terhadap keberadaan Al-Zaytun sudah sangat keras sekali. "Saya dapat laporan, masyarakat sudah dalam tanda petik ramai mempresekusi. Ini harus diantisipasi oleh pemerintah, jangan sampai apa yang terjadi pada Kelompok Gafatar terulang pada jemaah Al-Zaytun," cetusnya.
Kasus Gafatar dulu diduga melakukan makar tetapi pengadilan membuktikan mereka tidak terbukti makar. Tetapi tetap tokoh-tokohnya di penjara dengan alasan penistaan agama. "Ini abu-abu," serunya.
Pembuktian Al-Zaytun
Dalam konteks Al-Zaytun, kata Halili, pemerintah harus membuktikan dugaan antipancasila, radikal dan lain-lain melalui investigasi. Pembekuan juga tidak menutup urgensi untuk melakukan investigasi.
Polemik mengenai Pondok Pesantren Al-Zaytun mencuat setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam kajiannya menyatakan adanya dugaan pondok pesantren itu memiliki afiliasi dengan NII.
Hal itu dikemukakan Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Bidang Hukum dan HAM Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Ichsan Abdullah. Kesimpulan dari kajian MUI pada 2002, ujarnya, afilisasi tersebut terlihat dari pola rekrutmen, penghimpunan dan penarikan dana yang dilakukan ke anggota dan masyarakat. Ia meminta pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap Al-Zaytun. (Z-4)