02 April 2023, 16:17 WIB

Pengamat: Persentase Seleksi Jalur Mandiri 50 Persen Rentan Jadi Celah Korupsi


Dinda Shabrina | Politik dan Hukum

MI/Seno
 MI/Seno
Ilustrasi MI 

PENGAMAT pendidikan Doni Koesuma menilai aturan seleksi mahasiswa melalui jalur mandiri sebanyak 50 persen harus diubah. Sebab, aturan itu, kata Doni, amat rentan untuk membuka celah korupsi di perguruan tinggi. Dia memberi contoh yang terjadi pada kasus korupsi yang menyeret rektor Universitas Lampung (UNILA) dan Universitas Udayana beberapa waktu lalu.

“Universitas Udayana, fakultas kedokterannya itu dipatok Rp 1,2 miliar. Itu yang kemarin ditangkap rektornya kasus begitu itu (terlalu banyak kuota jalur mandiri). Bahkan di Udayana beberapa jurusan sudah langsung diisi semua oleh jalur mandiri. Jadi jalur undangan sama jalur tulisnya tidak ada. Itu kan sudah tidak benar,” ungkap Doni kepada Media Indonesia, Minggu (2/4).

“Jadi ini masalah visi menterinya. Menteri kita mau menjadikan pendidikan kita kapitalis atau membuka akses pendidikan untuk anak Indonesia yang terbaik? Itu patut dipertanyakan. Seleksi jalur mandiri itu saat ini semuanya diserahkan kepada rektor. Jadilah itu nanti seperti kasus UNILA dan Udayana. Kita kan tidak ingin yang lain ketangkap juga setelah ini,” tambah Doni.

Baca juga: LLDIKTI : Tangkap dan Bersihkan Oknum yang Cederai Sistem dan Regulasi di PTN

Doni juga menyampaikan untuk menentukan berapa persentase yang ideal untuk jalur mandiri harus menghitung persentase rasionalnya. Sebelum menentukan persentase ideal, lanjut dia, setiap universitas harus memberikan persentase lebih dulu untuk mahasiswa dari keluarga miskin.

“Itu wajib lho. Perguruan tinggi itu wajib mengakomodasi 20 persen kuotanya untuk anak-anak dari keluarga miskin. Perguruan tinggi harus mencari, wajib itu di Undang-Undang Dikti,” ujarnya.

Baca juga: MBKM Dinilai Mampu Membangun Ekosistem Pendidikan Berkualitas di Perguruan Tinggi

Karena itu, Doni menyampaikan persentase jalur mandiri harus lebih kecil lagi angkanya. Sementara itu jalur tulis harus diperbanyak. Agar kesempatan bagi anak-anak yang memiliki kualitas dan pintar, anak miskin, mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi.

“Jadi kalau saya. untuk jalur mandiri harusnya, kalau dia mau atau ingin anak-anak yang dua tahap seleksi terakhir tidak bisa, ya seleksi mandiri tapi 5 persen. Itu pun proses seleksinya harus konsorsium lembaga yang independen tidak bisa internal kampus. Jadi semandiri-mandirinya harus tetap independensi. Sehingga terpilih mahasiswa terbaik. Bukan karena mereka yang punya uang banyak. Itu jadi akar persoalannya,” tutur Doni.

Doni mengingatkan apabila aturan terkait banyaknya kuota untuk jalur mandiri tetap 50 persen, dalam 5-10 tahun ke depan perguruan tinggi dan pendidikan Indonesia akan menemui kehancurannya.

“Itu aturan yang fatal menurut saya. Kita tidak akan bisa bersaing dengan cara kementerian mengelola perguruan tinggi seperti sekarang. Perguruan tinggi menjadi balai latihan kerja. Itu tidak merupakan spirit dari perguruan tinggi,” tandasnya. (Dis/Z-7)

BERITA TERKAIT