POLITIK identitas yang terjadi di Indonesia dalam satu dekade ini telah tidak hanya terjadi di level nasional. Menurut Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Jacky Manuputty, praktik politik identitas di tingkat nasional telah direplikasi sampai ke daerah.
"Dalam satu dekade terakhir, retakan akibat eksploitasi, afirmasi, dan negasi terkait identitas yang terjadi di pusat juga melebar sampai di daerah-daerah," katanya dalam acara focus group discussion bertajuk Pencegahan Politisasi SARA bersama Organisasi Lintas Iman yang digelar Bawaslu RI di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Sabtu (25/3).
Jacky mengatakan, praktik politik identitas di daerah mengecat dengan membenturkan 'anak asli' atau pribumi dengan pendatang. Dalam konteks kontestasi politik praktis, ia menyebut penggunaan politik identitas mungkin saja dianggap seksi bagi para politisi.
Baca juga: Menteri Agama Berpesan Jangan Jadikan Agama Sebagai Politik Identitas
"Karena hasilnya cepat, tapi implikasinya juga panjang. Retakan pembelahan di masyarakat juga bisa sangat panjang terkait hal itu," sambungnya.
Selain melalui media sosial, spanduk, dan baliho, Jakcy mengakui bahwa politik identitas disebarkan lewat medium khotbah dan ceramah dengan membawa pesan politisi tertentu.
Baca juga: Intelijen Waspadai Politik Identitas dan Radikalisme jelang 2024
Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa persoalan politik identitas maupun SARA bukan hanya persoalan pemuka agama, tapi juga politisi.
Senada, pengurus Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Emmanuel Josafat Tular juga menyebut bahwa pimpinan agama jangan dijadikan pemadam kebakaran.
"Dengan kata lain, sudah mulai fatal, sangat kronis penyakit kepemiluan yang berlatar belakang pada identitas maupun politik SARA, kemudian baru diajak para pimpinan majelis agama baik di tingkat nasional maupun daerah," ujar Emmanuel.
KWI, lanjutnya, menitikberatkan pentingnya moderasi sebagai strategi pencegahan politik identitas dan SARA. Moderasi agama, misalnya, harus dibangun antara pimpinan agama dan umat agama. Tujuannya, untuk memahami dan menerima perbedaan dalam menjalankan keyakinan beragama dan keanekaragaman suku maupun antargolongan.
Baca juga: Bawaslu Ingatkan Sanksi Pidana Kampanye di Tempat Ibadah
Dalam kesempatan yang sama, anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty mengatakan acara FGD yang digelar pihaknya mencoba untuk menyamakan persepsi ihwal politik identitas dan politisasi SARA. Sebab, selama ini masih terjadi perdebatan mengenai hal tersebut.
Bawaslu, sambung Lolly, tidak akan pernah keluar dari konteks Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum dalam hal menindak kecurangan terkait kampanye. Ini misalnya saat terjadi penghinaan, penghasutan, pengadudombaan, dan kekerasan.
"Sebenarnya kalau setiap orang duduk bersama dan punya pandangan, seberbeda apapun, selama ada ruang untuk mendiskusikannya, kami berharap tentu perbedaan itu tidak terlalu tajam dan bisa ketemu titik temunya," kata Lolly. (Tri/Z-7)