PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penghapusan keberadaan peradilan khusus terkait pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 menuai kritik. Penghapusan itu dinilai membebani MK.
"Jadi, posisi kami tidak setuju jika badan peradilan khusus dibatalkan. Karena dengan pertimbangan kondisi 2024 yang cukup rumit dan penuh dengan kondisi kompleksitas," kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita kepada Medcom.id, hari ini.
Mita menyoroti kondisi MK yang terdiri dari sembilan orang hakim. Sementara, ratusan daerah yang menyelenggarakan pemilu bakal memboyong perselisihan hasil pilkada ke MK.
"Dengan beban kerja yang super berat itu, apakah mungkin hanya diselesaikan oleh sembilan orang hakim konstitusi? Tentu kemungkinan terburuk tersebut secara logika tidak dapat dilakukan dengan desain kelembagaan MK saat ini," ujar Mita.
Menurut dia, MK tidak terbebani bila putusan tersebut dimaknai secara konstitusional bersyarat dengan tetap mempertahankan badan peradilan khusus pemilu. Badan tersebut bisa berada di bawah naungan MK.
Baca juga: Anies: Polarisasi Wajar, Jangan Dianggap Perpecahan
"Namun putusan MK disini jelas membatalkan eksistensi Pasal 157 ayat (1), (2) dan (3) frasa 'sampai dibentuknya badan peradilan khusus' UU Pilkada yang menandakan bahwa semua Perselisihan Hasil Pemilihan hanya dilakukan oleh MK semata," jelas Mita.
Mita menuturkan pasal tersebut sejatinya mengandung semangat antisipatif terhadap polemik pilkada. Karena dorongan peradilan khusus itu untuk menghadapi momentum pilkada yang dilakukan serentak untuk pertama kalinya di Indonesia.
"Jika pun dilakukan, dengan beban kerja tersebut akan membuat kualitas putusan tidak maksimal," ucap Mita.
MK membatalkan keberadaan badan peradilan khusus yang diatur dalam Pasal 157 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.10/2016 tentang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota.
Sehingga, tidak ada lagi perbedaan antara pemilihan umum nasional dengan pemilihan kepala daerah. Maka MK menjadi lembaga satu-satunya yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Salah satunya untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu.(OL-4)