29 September 2022, 14:39 WIB

Restoratif Justice dalam Kasus Korupsi untungkan Koruptor


Mediaindonesia | Politik dan Hukum

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
 ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Komisioner KPK Johanis Tanak 

IDE restorative justice (RJ) atau keadilan resotoratif dalam tindak pidana korupsi (tipikor) yang diembuskan mantan Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM-Datun) Johanis Tanak dinilai berbahaya dalam upaya pemberantasan korupsi.

Menurut peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah, gagasan pengganti Lili Pintauli Siregar itu tidak sejalan dengan kualifikasi korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Gagasan tersebut, lanjutnya, justru akan melanggengkan impunitas terhadap para koruptor.

"Implikasinya, praktik RJ tersebut tidak akan memberikan dampak efek jera (deterrent efect) sama sekali," kata Herdiansyah kepada Media Indonesia, Kamis (29/9).

Johanis terpilih menggantikan Lili sebagai komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah mengikuti uji kepatutan dan kelayakan yang digelar Komisi III DPR RI, Rabu (28/9). Dalam proses tersebut, Johanis mendapatkan 38 dari 53 suara, mengungguli kanditat lainnya, yakni I Nyoman Wara dengan 14 suara.

Herdiansyah menyoroti sikap Komisi III yang tidak mendalami gagasan Johanis tersebut. Ia berpendapat, ide RJ untuk tipikor kemungkinan menguntungkan para anggota dewan.

"Dan juga menguntungkan para koruptor, teman-teman para koruptor, dan yang akan jadi koruptor di kemudian hari," tandasnya.

Baca juga: Latar Belakang Johanis Tanak Diyakini Mempertajam Taring KPK

Hal senada juga disampaikan peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Zaenur Rohman yang menyebut ide Johanis "sangat aneh". Sebab, penerapan RJ selama ini sangat berperspektif korban. Sementara itu, korban dalam tipikor adalah masyarakat secara luas.

"Sehingga tidak mungkin adanya semacam perdamaian antara pelaku dan korban. Kepentingan korban juga tidak bisa diakomodasi dalam proses RJ kalau itu adalah tipikor," terang Zaenur.

Ia menegaskan bahwa RJ sama sekali tidak relevan untuk perkara tipikor.

Sebelumnya, Johanis berpendapat RJ tak hanya bisa diterapkan untuk tindak pidana umum saja, melaninkan juga tindak pidana khusus seperti korupsi. Sadar bahwa Undang-Undang Pemberantasan Tipikor tidak mengakomodir RJ, Johanis mengatakan kekosongan hukum itu dapat diisi dengan peraturan lain, misalnya peraturan presiden.

Penghentian penuntutan perkara melalui mekanisme RJ selama ini telah diterapkan oleh institusi kejaksaan. Kendati demikian, kejaksaan baru mengaplikasikannya pada tindak pidana umum yang ancaman pidananya tidak lebih dari 5 tahun dan kerugiannya kurang dari Rp2,5 juta.

Dalam proses perkembangannya, kejaksaan juga menerapkan RJ untuk tindak pidana narkotika. Namun, RJ ini hanya menyasar bagi para pengguna narkotika yang dinilai sebagai korban.

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam wawancara dengan Metro TV pada Senin (26/9) lalu menegaskan tidak ada rencana untuk menerapkan RJ bagi tipikor. "Sampai saat ini kita tidak semua (perkara) bisa kita lakukan RJ, apalagi untuk korupsi. Tidak akan langkah ke sana." (OL-4)

BERITA TERKAIT