PEMILU 2024 masih satu setengah tahun lagi, pendaftaran Capres dan Cawapres Pemilu pun baru akan dibuka pada 19 Oktober 2023, namun berbagai manuver politik sudah mulai bermunculan.
Manuver itu menurut Direktur Eksekutif Suara Politik Publik (SPP) Asrudin Azwar, biasanya dilakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan politik tertentu dari pihak-pihak politik tertentu yang berkepentingan secara politik.
"Namun soalnya adalah, manuver tersebut dilakukan oleh apa yang saya sebut sebagai tangan tak terlihat dalam politik (Invisible Hands in Politics) dan dilakukan dengan cara-cara illegal, serta bertentangan dengan semangat demokrasi. Lebih tepatnya berorientasi kekuasaan dan menjauh dari kepentingan publik (public interest)," katanya dalam keterangannya.
Dalam dunia politik praktis, manuver semacam itu kerap dilakukan. Belum lama ini, misalnya, Asrudin mencontohkan, muncul sejumlah baliho yang terpasang di sejumlah wilayah yang dinilai telah merugikan tokoh politik dari Partai Gerindra.
Dalam baliho tersebut terpajang foto Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto bersalaman. Kemudian di dalamnya terdapat kutipan dari Prabowo yang bertuliskan 'Saya mengakui kepemimpinan kenegaraan Pak Jokowi'.
Padahal pemasangan baliho itu tidak berasal dari Gerindra dan tentu saja bukan merupakan bagian dari program kampanye Gerindra. Tapi dilakukan oleh tangan tak terlihat dalam politik.
"Jika mencermati pesan politik yang ingin dinarasikan dalam baliho itu tergambar sebuah upaya frustasi yang dilakukan tangan politik tak terlihat untuk menggembosi Prabowo. Hal Ini dilakukan, dalam hemat saya, karena munculnya kekhawatiran dari para tangan politik tak terlihat yang melihat semakin berkilaunya elektabilitas Prabowo," ujar Asrudin.
Baca juga : Konsisten Perjuangkan Aspirasi Masyarakat, Warga Kediri Daulat LaNyalla Mattalitti Maju Pilpres 2024
Dalam survei Suara Politik Publik (SPP) pada 7 hingga 16 Juli 2024 lalu menunjukkan Prabowo unggul dari kandidat lainnya dengan tingkat keterpilihan (28,7%), meninggalkan Ganjar Pranowo (20,5%) dan Anies Baswedan (13,9%).
"Dengan tren elektabilitas yang demikian, upaya untuk menggembosi Prabowo dengan cara-cara illegal hanya akan membuat Prabowo semakin berkilau. Apalagi ada semacam hukum tak tertulis dalam politik, bahwa korban manuver politik biasanya diuntungkan secara elektabilitas," ungkap Asrudin.
Ia menegaskan, kasus Baliho itu mesti dijadikan warning bahwa Pemilu 2024 akan digiring pada cara-cara yang non-demokratis. Akibatnya adalah gesekan yang keras memungkinkan terjadi pada akar rumput karena ulah tangan politik tak terlihat. Apalagi Indonesia sudah memiliki pengalaman buruk serupa pada dua pemilu sebelumnya (2014 dan 2019).
"Saya khawatir, membiarkan perkembangan politik baru-baru ini akan membuat politik Indonesia tidak mengalami berubahan secara mendasar, dalam arti oportunistik daripada altruistik. Melalui dua pengalaman Pemilu yang rawan gesekan itu, saya mengimbau pada semua partai peserta Pemilu untuk mengkampanyekan pemilu yang sehat," tukasnya.
Menurutnya, tidak perlu lagi melakukan manuver politik illegal yang justru merugikan publik dan merusak demokrasi itu sendiri. Sudah saatnya partai-partai politik berkontestasi berdasarkan visi, misi dan berorientasi altruisme (mengutamakan kepentingan dan kebaikan publik di atas kepentingan politik sesaat).
"Untuk itu saya mendukung penuh langkah Gerindra untuk menyerahkan masalah Baliho ke jalur hukum melalui Kepolisian Daerah (Polda) masing-masing. Dan ini juga menjadi kesempatan yang bagus bagi aparat hukum untuk mengembalikkan citranya yang saat ini sedang rusak akibat kasus Ferdy Sambo dengan menangkap penyebar baliho (tangan politik tak terlihat) serta mencegah terjadinya manuver politik yang bisa merusak demokrasi di Indonesia," pungkasnya. (RO/OL-7)