DALAM satu bulan terakhir, kekerasan seksual terhadap anak marak diberitakan. Pelaku dari orang terdekat sampai orang tak dikenal. Puluhan anak jadi korban di tempat sekolah, rumah ibadah, hingga di halaman rumahnya sendiri.
Bahkan yang memilukan, seorang anak di Medan sampai tertular virus HIV akibat perbuatan pelaku. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan teror pemerkosaan terhadap anak hari ini semakin mengkhawatirkan. Ia mengutuk dan meminta agar pelaku dijatuhi hukuman berat.
“Biasanya para pejabat sampai yang bekerja melindungi anak, masih bicara pelaku adalah orang terdekat, tetapi kita lihat ada kasus pengemudi motor yang menunggu anak-anak bermain sepeda dan melakukan perbuatan kejinya, menandakan sasaran kejahatan keji ini akan mudah menyerang siapa saja, tanpa harus mengenali korbannya atau pelakunya,” kata Jasra saat dihubungi, Jumat (16/9).
Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak ini, kata dia harus menjadi peringatan besar untuk orangtua dan semua pihak agar ketat dalam melakukan pengawasan.
“Ini mengerikan. Bukan bermaksud untuk menebar panik atau menakuti. Tapi tidak bisa lagi kita merasa kampung saya aman, biasa-biasa saja. Perbuatan pelaku yang memperkosa anak sedang bermain itu lebih dari nekat, karena sudah tidak memikirkan risiko,” ujar Jasra.
Jasra mengingatkan tugas kepolisian semakin berat, sehingga perlu ada inisiatif dari aparat untuk mendeteksi dan menyisir para predator anak di mana pun. Di sekolah, rumah ibadah, lingkungan perumahan, transportasi publik dan ruang bermain anak. “Tentu saja ini kerja kolaborasi,” ucap Jasra.
“Perlu juga ada perubahan cara penanganan, agar ada kemajuan dari ditemukannya modus baru cara pelaku menyasar korbannya. Pertama pentingnya manajemen krisis, ketika ditemukan anak yang diduga mengalami kekerasan seksual, yang diawali itu pemeriksaan kesehatan, agar segera di ketahui bila tertular HIV, tertular penyakit, agar segera bisa melakukan penyelamatan atau pencegahan yang diperlukan, kemudian memastikan anak tidak mengalami kehamilan yang tidak diinginkan,” imbuh dia.
Baca juga: Mensos Sebut BLT BBM Sudah Disalurkan ke 12,7 Juta Penerima
Selain itu, Jasra berharap ada penemuan baru dalam pembuktian kejahatan pelaku, seperti melacak apa yang telah di sentuh pelaku, agar tidak di sentuh lagi. Atau bisa menggunakan pemeriksaan jejak pelaku dengan teknologi pembuktian.
“Misal mungkinkan yang disentuh pelaku ada pembuktian dengan pengembangan teknologi DNA atau penemuan lainnya yang bisa membantu kerja-kerja kepolisian. Tentunya dengan memastikan dan mempersyaratkan pencatatan identitas warga negara yang terverifikasi baik dan tervalidasi baik, agar tidak salah menangkap pelaku,” kata dia.
Dengan peristiwa kekerasan terjadi di lingkungan terdekat rumah, Jasra mengingatkan penting untuk pencegahan sejak awal. Bagaimana setiap rumah memiliki pengetahuan manajemen kasus dan manajemen rujukan secara umum, seperti yang biasa di lakukan lembaga-lembaga rehabilitasi, guna menghindari penanganan yang salah sejak awal.
“Karena akan sangat beresiko kepada korban dan anak menjadi korban berlapis. Bahwa penanganan yang salah telah menyebabkan melimpahnya kasus kekerasan seksual yang tidak mau diungkap korban. Penting ada panduan manajemen krisis penanganan korban kekerasan seksual, sambil pemerintah bersama masyarakat sipil terus melengkapi turunan dari UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). UU ini juga harus mulai mengarah pada partisipasi aktif semua pihak, terutama keluarga, komunitas, agar penanganannya semakin efektif dan membantu kerja kerja APH,” tandasnya.
Sementara itu, pengamat isu kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, Ninik Rahayu mengatakan daerah-daerah yang tahun lalu mendapat predikat kota/kabupaten layak anak (KLA) perlu dievaluasi kembali.
Melihat kasus kekerasan terhadap anak yang meningkat, Ninik mengingatkan agar pemerintah segera mengevaluasi bahkan jika perlu mencabut predikat KLA tersebut. Baginya, jika suatu daerah masih terdapat angka kekerasan terhadap anak, maka daerah tersebut tidak berhak mendapatkan predikat KLA.
“Kalau tidak dievaluasi segera, akan memberi kesan bahwa kota itu masih ramah anak. Padahal salah satu poinnya adalah dia (kota/kabupaten) itu harus tidak ada angka kekerasan. Harus ada upaya pencegahan, harus ada upaya penanganan. Jika itu tidak dilakukan, identitas itu masih melekat, orang jadi tidak percaya lagi dengan pemda, tidak percaya dengan penghargaan itu,” kata Ninik.
“Sebuah kota misalnya disebut sebagai kota ramah anak, pada periode tertentu, lalu pada periode berikutnya, kalau misalnya di kota itu tidak sebagaimana diharapkan, ya harus dicabut. Tapi penting untuk dievaluasi dulu. mungkin tahun lalu dia dapat predikat, tapi kenyataannya tahun ini dia angka kekerasannya tinggi. Ya evaluasi lagi, lalu cabut. Pemerintah harus berani,” pungkas dia. (OL-4)