21 August 2022, 10:04 WIB

Catatan Syahganda Nainggolan di HUT Ke-77 Kemerdekaan RI


mediaindonesia.com | Politik dan Hukum

dok.pribadi
 dok.pribadi
Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle (SMC)  Dr Syahganda Nainggolan

REPUBLIK Indonesia, memang sudah merdeka 77 tahun, tapi pertanyaan besarnya adalah bagaimana makna kemerdekaan itu kini dapat dirasakan?

Hal itu diungkap oleh Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle (SMC) yang juga mantan aktivis mahasiswa ITB era 80an yg pernah dipenjara rezim Soeharto dan Jokowi, Dr Syahganda Nainggolan, terkait 77 Tahun makna kemerdekaan tahun ini.

Lihatlah beberapa hal berikut ini, tentang moralitas kekuasaan, tentu saja soal pembunuhan Brigadir J dalam kasus di tubuh polisi, maka supremasi hukum adalah kata kunci "Justice". Sebuah negara didirikan untuk mendistribusikan keadilan bagi rakyat. Tanpa meletakkan hukum sebagai tulang punggung, tentu semuanya akan kacau balau.

Lalu, bagaimana mengatur hukum bagi kepentingan semua orang? Negara membangun institusi penegakan hukum dan keadilan. Salah satunya adalah kepolisian.

Kita sudah melihat dalam bulan kemerdekaan ini, beberapa jenderal polisi, terlibat kasus melakukan pembunuhanan dan saling-bantu dalam kasus pembunuhan tersebut, yakni Ferdy Sambo dkk. Jika kita nonton film "City of Lies", Jhonny Deep, di HBO, polisi di Los Angeles, Amerika, juga terjadi hal yang sama, yakni polisi berkelakuan mafia.

Tapi, yang kita alami dalam 77 tahun merdeka ini adalah ternyata jenderal-jenderal ini merupakan bagian dari kekuasaan negara. Mengapa demikian? Polisi bekerja bukan saja untuk urusan penegakan hukum, melainkan juga menghancurkan lawan-lawan politik rezim yang berkuasa.

Ferdy Sambo adalah intinya polisi saat kemarin itu, kepaladivisi propam mabes polri dan ketua institusi ekstra kuat, Satgassus.

Menkopolhukam Mahfud MD mengungkapkan, tanpa adanya polisi yang bermoral, kemungkinan Sambo dan istrinya yang sudah dijadikan tersangka, kemungkinan bebas. Tentu saja karena Kapolri, sejatinya, ingin bertransformasi ke arah yang benar.

Persoalan lain adalah ekonomi rakyat kecil. Pemerintah sudah menyatakan akan menaikkan harga BBM, minggu depan. Selama ini pemerintah menyatakan bahwa negara terlalu banyak mensubsidi rakyat, sekitar Rp500 triliun.

Tentu saja rakyat akan memikul beban kenaikan harga yang sangat besar.

Sebelum kenaikan BBM, pertalite, dan solar, saat ini rakyat sudah mengalami beban mahalnya harga-harga kebutuhan pokok. Padahal upah tidak naik atau naik tidak signifikan. Belum lagi kita melihat yang PHK, semakin banyak.

Mengharap pada keluarga besar (extended family), sebagai sistem perlindungan sosial tradisional, semakin sulit. Karena, semua orang juga semakin sulit.

Lalu ke mana berharap, jika negara mencabut subsidi? Jika subsidi dipangkas?

Persoalan terakhir adalah demokrasi dan kebebasan rakyat. Menghukum lawan-lawan politik karena mengganggu kekuasan adalah ajaran Machiavelli. Niccollo Machiavelli, filosof Florence era 1500-an, mengatakan penguasa tidak perlu berharap dicintai, tapi berharaplah untuk ditakuti rakyat.

Di era moderen, di mana kontrol social dari "civil society" diperlukan, justru kebebasan, kritik, dan perbedaan pendapat juga perlu menjadi tiang utama negara.

Negara adalah sebuah institusi representasi kepentingan rakyat. Untuk benar-benar bisa memberi fungsi keadilan, diperlukan moralitas kekuasaan. Moralitas itu adalah sebuah nilai-nilai yang di dalamnya kepentingan pribadi ditransfer menjadi kepentingan publik.

Orang-orang harus melihat pemimpinnya meneteskan air mata ketika acara kemerdekaan di istana, dengan lagu lagu kebangsaan yang menggugah spirit, bukan berjoget-joget lagu cinta. Orang-orang harus terkoneksi dengan sejarah.

Hukum dan keadilan harus tumbuh dalam tegaknya fundamental nilai-nilai. Penegakan hukum harus mengerti bahwa dia adalah teladan. Kalau bisa moralitasnya berbasis agama, rajin ibadah, dan membenci uang-uang haram.

Begitupun penegak hukum dan perangkat hukumnya tidak lagi menjadi bagian dari kepentingan politik rezim, dia harus adil terhadap siapa pun. Tidak boleh digunakan untuk mendukung seseorang dalam pemilu atau lainnya.

Moralitas kekuasaan dengan nilai-nilai kecintaan pada rakyat harus merujuk pada maksud Indonesia Merdeka. Keadilan untuk semua rakyat. Kita, ketika melihat misalnya  masih ada jenderal bermoral di kepolisian, kita masih bisa berharap masih ada harapan ke depan.

Jokowi harus mampu menunjukkan langkah ke depan, membangun Indonesia Merdeka yang kokoh berbasis ketangguhan moral. Reformasi kepolisian dan birokrasi harus dilakukan. Ulama perlu dihormati dan dijaga mandatnya. Pemimpin harus merakyat. Subsidi pangan dan energi pokok harus dipertahankan sekaligus demokrasi diutamakan. (Ant/OL-13)

Baca Juga: HUT ke-77 RI Jadi Momentum Renungkan Kembali Tri Sakti

BERITA TERKAIT