MAHKAMAH Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945.
Terdapat tiga gugatan uji materi UU MK, di mana salah satu pasal yang digugat, yakni soal masa jabatan hakim MK.
Gugatan pertama dengan nomor perkara 90/PUU-XVII/2020 diajukan oleh Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Allan Fatchan Gani Wardhana. Pada uji materil, MK juga tidak menerima permohonan yang diajukan oleh dosen tersebut.
Putusan itu dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Senin (20/6).
“Dalam pengujian Formil menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya dan dalam pengujan Materiil menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” tegas Anwar.
Meski begitu, putusan tersebut tidaklah bulat. Pasalnya, ada pendapat berbeda (dissenting opinion) dan alasan berbeda (concurring opinion) oleh Hakim Konstitusi Wahidduin Adams dan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Sementara Saldi Isra hanya memliki pendapat berbeda dalam perkara tersebut.
Suhartoyo memiliki pendapat bahwa tidak relevan apabila perubahan Undang-Undang a quo masih dikaitkan dengan tata cara pembentukan atau perubahan Undang-Undang secara normal sebagaimana perubahan Undang-Undang pada umumnya.
“Menurut saya oleh karena materi permohonan atas perkara-perkara tersebut yang diajukan oleh pemohon, para pemohon masih berkaitan erat dengan desain jabatan hakim, maka perubahan pada bagian materi UU 7/2020 menjadi satu kesatuan yang keurutannya harus diberikan perlindungan,” tuturnya.
Dalam dissenting opinion, Saldi Isra menyetujui hakim MK tidak perlu dikocok ulang per-lima tahun.
“Selanjutnya, dengan hanya satu periode dan masa jabatan lebih lama, persentuhan dengan lembaga politik yang terlibat dalam proses seleksi hanya akan berlangsung satu kali,” ujar Saldi.
Apabila model dua kali periode dengan masa jabatan yang lebih pendek diterapkan, Saldi menyebut Hakim Konstitusi yang berkeinginan dipilih kembali menjadi hakim pada periode kedua dikhawatirkan akan terganggu independensi dan konsistensinya.
“Karena itu, masa jabatan Hakim Konstitusi sebaiknya hanya satu periode dengan tenggat waktu yang lebih lama. Untuk menjaga independensi dan konsistensi hakim atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman,” ungkap Saldi.
Kemudian, gugatan selanjutnya dengan nomor perkara 96/PUU-XVII/2020 Yang dilayangkan oleh priyanto. Menurut Priyanto, ketentuan pada Pasal 87 huruf a dan b UU 7/2020 bersimpangan atau tak selaras dengan pasal 4 ayat 3 UU 7/2020, dan bertentangan dengan UUD 1945.
“Amar putusan mengabulkan pemohon untuk sebagian,” ungkap Anwar.
MK mengemukakan, pasal 87 huruf a UU MK bertentangan dengan UUD 1945. Dibatalkannya Pasal 87 huruf a itu membuat Ketua MK dan Wakil Ketua MK, Aswanto, harus berhenti dari jabatannya.
“Menyatakan pasal 87 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang MK bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuaran hukum mengikat,” papar Anwar.
Namun, Ketua MK Anwar Usman dan Aswanto tak harus mundur dari jabatannya sebagai hakim MK. Hal itu lantaran perubahan masa jabatan hakim MK merupakan hak pembentuk UU.
Hakim MK Enny Nurbaningsih menuturkan Anwar maupun Aswanto tak langsung mundur saat putusan dibacakan. Hal itu agar tidak menimbulkan persoalan atau dampak administratif atas putusan a quo, Ketua dan Wakil Ketua MK akan tetap sah sebagaimana amanat dari Pasal 24C ayat 4 UUD 1945.
“Oleh karena itu, dalam waktu paling lama sembilan bulan sejak putusan ini diucapkan harus dilakukan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi,” papar Enny.
Baca juga : MK Putuskan Anwar Usman Harus Mundur dari Kursi Ketua
"Pasal 87 huruf a UU 7/2020 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak putusan ini selesai diucapkan,” tambahnya.
Selain itu, perubahan masa jabatan hakim dari periodisasi lima tahunan menjadi tanpa periodisasi, konstitutional. Masa jabatan menjadi tanpa periodisasi selama 15 tahun atau pensiun maksimal di usia 70 tahun.
Pembatasan usia ini terdapat dalam Pasal 87 ayat b dan juga berlaku untuk hakim MK yang masih menjabat saat ini. ?Adapun Pasal 87 ayat b berbunyi, Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang- Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun.
Sejatinya, Anwar Usman menyatakan dirinya tidak perlu mundur terkait putusan judicial review UU MK. Namun suara Anwar Usman kalah dengan hakim konstitusi lainnya sehingga Anwar Usman harus mundur.
Anwar Usman menyatakan dissenting opinion lantaran dirinya merasa tidak perlu mundur dan Pasal 87 ayat a dinilainya konstitusional.
"Pasal 87 huruf a menyangkut masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK, karena jabatan dimaksud merupakan bagian dari hak memilih dan dipilih dari para hakim konstitusi, maka sudah selayaknya dan sewajarnya jika persoalan tersebut dikembalikan kepadapemangku hak,” ungkapnya.
Sementara itu, gugatan ketiga dengan nomor perkara 100/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh R. Violla Reinida Hafidz, M. Ihsan Maulana, Rahmah Mutiara, Korneles Materay, Beni Kurnia Ilahi, Giri Ahmad Taufik, dan Putra Perdana Ahmad Saifulloh.
Pemohon mengajukan gugatan Formil dan Materiil terhadap Pasal 15 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), ayat (2), Pasal 23 ayat (1) huruf c, Pasal 59 ayat (2), serta Pasal 87 huruf a dan huruf b UU MK dan Pengujian materiil Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 UU MK.
Terkait limitasi latar belakang calon hakim usulan Mahkamah Agung dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU MK, Mahkamah menilai pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan pengujian materiil. Sedangkan pokok permohonan dalam pengujian formil tidak beralasan menurut hukum.
“Oleh karena itu, pokok permohonan para pemohon dan hal-hal lain dalam pengujian materiil tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” ujarnya.
Pendapat berbeda dan alasan berbeda muncul dari Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Suhartoyo, sedangkan pendapat berbeda dari hakim Konsitutsi Arief Hidayat dan Saldi Isra.
Lalu, Mahkamah melanjutkan sidang putusan yang diajukan Ignatius Supriyadi terkait pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945.
Dalam petitumnya, pemohon turut meminta agar anggota Komisi Yudisial (KY) dicoret dari anggota Majelis Kehormatan MK (MKMK).
Mahkamah berpendapat pemohon dianggap memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Sehingga permohonan mereka dikabulkan untuk sebagian.
Sementara itu, gugatan dengan nomor perkara 30/PPU-XX/2022 terkait uji Materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dikabulkan sebagian oleh Mahkamah.
Para pemohon mengatakan ketentuan Pasal 83 ayat (1) telah menciptakan ketidakpastian hukum yang diakibatkan munculnya ruang penafsiran yang beragam atas rumusannya khususnya sepanjang frasa “Anggota Komnas Ham berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang”.
“Menyatakan kata berjumlah dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai berjumlah paling tinggi ,” ungkap Anwar.
Terakhir, untuk perkara nomor 29/PUU-XX/2022 terkait uji Materiil Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
“menyatakan permohonan pemohon I sepanjang berkenaan dengan Pasal 13 huruf I Undnag-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK tidak dapat diterima. Menolak pemohonan para pemohon untuk sekian dan selebihnya,” papar Anwar. (OL-7)