25 May 2022, 18:58 WIB

Pasal Penghinaan Presiden dalam Revisi KUHP Tetap Delik Aduan


Fachri Audhia Hafiez | Politik dan Hukum

MI/ Moh Irfan
 MI/ Moh Irfan
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej 

WAKIL Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy kembali menegaskan bahwa Pasal 218 dalam Revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden merupakan delik aduan. Hal ini sejatinya sudah terungkap sejak draf beleid itu bocor.

"Ini adalah perubahan dari delik yang bersifat tadinya delik biasa menjadi delik aduan," kata Eddy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, hari ini.

Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden di KUHP melalui putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006. Eddy mengatakan pasal di Revisi KUHP berbeda dengan pasal yang dihapus MK.

"Jadi sama sekali kami tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi, justru berbeda. Kalau yang dimatikan Mahkamah Konstitusi itu delik biasa," ujar Eddy.

Baca juga: Mahasiswa Terduga Teroris di Malang Kerap Sebarkan Konten ISIS

Pada Revisi KUHP, kata Eddy, juga ditambahkan penjelasan bahwa pengaduan harus dilakukan langsung oleh presiden atau wakil presiden. Pengaduan dilakukan secara tertulis.

"Dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden dan juga ada pengecualian untuk tidak dilakukan penuntutan apabila ini untuk kepentingan umum," jelas Eddy.

Pasal 218 ayat 1 revisi KUHP berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."

Hukum pidana ditambah satu tahun bila penghinaan disampaikan melalu media sosial. Hal itu termaktub pada Pasal 219. (OL-4)

BERITA TERKAIT