BUKAN perkara gampang untuk menjaga wilayah udara di Tanah Air. Kehadiran alat utama sistem senjata (alutsista) pun menjadi faktor penting dalam mengendalikan atau mengontrol keamanan di ruang tersebut.
Demikian dikatakan Guru Besar Ilmu Poltik dan Keamanan Universitas Padjajaran Muradi. Menurut dia, dalam konteks Indonesia, jika TNI Angkatan Udara ingin bisa memastikan posisi postur pertahanan udara, sangat penting untuk difokuskan di wilayah udara di sekitar Singapura.
Apalagi saat ini sudah terjalin kesepakatan pelayanan ruang udara atau flight information region (FIR) dengan Singapura. Dalam kesepakatan itu, Singapura memegang kendali FIR di sektor C atau di atas Kepulauan Riau dan sekitarnya pada ketinggian 0-37 ribu kaki, sedangkan Indonesia mengelola ketinggian di atas 37 ribu kaki.
"Di dekat Natuna (Kepulauan Riau) itu memang perlu ekstra. Maksudnya adalah kita paling tidak harus bisa setara Singapura dan Malaysia. Kalaupun tidak bisa lebih tinggi, ya setidaknya bisa setara dengan dua negara itu. Ini untuk postur pertahanan udara kita di situ, ya," kata Muradi kepada Media Indonesia, Jumat (8/4).
Baca juga: BPIP dan Panglima TNI Siapkan Strategi Bumikan Nilai-Nilai Pancasila
Menurut dia, di usia ke-76 TNI-AU, hal tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah yang perlu mendapat perhatian. "Menurut saya, TNI-AU mapun TNI-AL itu bergantung pada alutsista. Jadi yang paling penting itu memastikan alutsista khususnya AU itu lebih optimal, lebih baik."
Ia pun menyoroti pembelian 42 pesawat tempur Dassault Rafale buatan Prancis oleh Kementerian Pertahanan RI yang dinilai justru menjadi tidak fokus pada tujuan konsepsi pengadaan alutsista.
"Konsepsi pengadaan alutsista itu dia tidak boleh banyak tempat, kita mau ke mana? Jadi syaratnya dalam konteks banyak tempat, kalau kita kuasai teknologinya itu tidak ada masalah. Atau kedua, teknologinya harus lebih baik atau lebih tinggi dibanding yang sudah kita punya," terang dia.
Muradi menyebut TNI-AU sudah punya pesawat tempur buatan Rusia, Sukhoi SU-27 dan SU-30 serta buatan Amerika Serikat F-16 Fighting Falcon. Menurutnya, Rafale berada dalam kelas yang sama dengan tiga jenis pesawat tempur tersebut.
"Kalau mau lebih tinggi dari itu, ya seharusnya SU-35 atau bahkan minimal yang bisa setara dengan itu. Eurofighter (Typhoon), bolehlah, karena setengah strip lebih tinggi dibanding Rafale."
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Pertahanan Marsekal Madya Donny Ermawan Taufanto mengatakan rencana pembelian 42 armada Rafale dan F-15 EX merupakan upaya untuk membangun kekuatan pertahanan udara.
Donny membeberkan, kondisi kesiapan pesawat tempur di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mengalami kemunduran. Contoh, pesawat tempur F5 Tiger tidak lagi dioperasionalkan dalam beberapa tahun terakhir dan belum ada penggantinya hingga saat ini. Begitu pun pesawat Hawk 100/200 yang sudah berusia lebih dari 25 tahun.
Saat ini, lanjutnya, Indonesia hanya mengandalkan 33 pesawat F-16 AM, BM, C dan D, yang sudah berusia lebih dari 30 tahun, serta 16 pesawat Sukhoi SU-27 dan SU-30 dengan usia hampir 20 tahun sebagai pesawat tempur utama.
Dengan kondisi yang demikian, imbuhnya, maka menjadi kewajiban Kementerian Pertahanan untuk merencanakan pesawat tempur, yang akan bertugas di pada 2030 hingga 2040.
"Keterbatasan beberapa suku cadang pesawat serta keterbatasan jenis dan jumlah peluru kendali juga menyebabkan kesiapan tempur pesawat F16 dan Sukhoi 27 dan 30 tidak maksimal," kata dia, Kamis (17/2). (Ant/J-2)