28 January 2022, 19:31 WIB

Usang, Hibah 3 Korvet Tak Perlu Dipaksakan 


Cahya Mulyana | Politik dan Hukum

Dok. Antara
 Dok. Antara
Ilustrasi Kapal Korvet

SEJUMLAH pihak menolak hibah tiga kapal korvet dari Korea Selatan. Selain usia pakainya sudah mencapai 40 tahun, biaya perawatan ketiganya juga menyamai harga korvet baru. 

Jika tetap dipaksakan untuk menerima ketiga korvet usang juga akan mengancam keselamatan para prajurit TNI. Selain itu, ketiganya kurang layak untuk menjaga kedaulatan bangsa. 

"Sebenarnya hibah kapal dari korea itu menurut saya bukan kabar yang sepenuhnya menggembirakan," ujar Pengamat Militer dan Pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi di Jakarta, Jumat (28/1). 

Fahmi mengatakan ,Indonesia harus meningkatkan kekuatan di laut namun bukan berarti harus menerima tiga korvet hibah tersebut. Sebab usia pakai ketiganya sudah mencapai 40 tahun. 

"Padahal seperti diketahui, DPR baru saja menyetujui penghapusan dua KRI yang sudah berusia 40 tahun dan segera menyusul sekitar 20 kapal lain. Begitu pula Menhan, berulangkali juga mengatakan tidak ingin membeli kapal bekas," tegasnya. 

Fahmi menyebut, hibah memang bukanlah pembelian. Tapi tetap saja pengoperasian dan pemeliharaan kelaikan 3 korvet itu akan berbiaya tinggi. Lagipula, pengoperasian kapal berusia diatas 30 tahun tentu meningkatkan risiko kegagalan atau kecelakaan bagi yang menggunakannya. 

"Kita berharap tragedi Nanggala menjadi pelajaran berharga," tandasnya. 

Anggota Komisi I DPR Rizki Aulia Rahman Natakusumah juga meminta rencana Indonesia melalui Kementerian Pertahanan RI menerima hibah tiga kapal korvet dari Korea Selatan maupun negara lain ditinjau ulang. Meskipun alutsista itu diperoleh cuma-cuma, namun tak memperkuat mutu TNI, maka anggaran untuk perawatannya sebaiknya digunakan untuk membeli yang baru 

"Pada dasarnya hibah ini menunjukkan adanya kerja sama pertahanan yang baik dengan Korea Selatan. Namun yang perlu dipertimbangkan adalah apakah cost yang telah dan akan dikeluarkan sepadan dengan benefit yang didapatkan?" kata Rizki. 

"Kami berpandangan sebaiknya biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan hibah Alutsista bekas bisa dialihkan untuk pembelian produk Alutsista dari industri pertahanan dalam negeri," ujarnya. 

Baca juga : Relawan Ganjar Lantik Pengurus DPD/DPC Sigap Banten

Menurut Rizki, pertimbangan utama kaji ulang rencana penerimaan hibah itu didasarkan pada usia alutsista yang sudah tua. Kapal yang hendak diberikan dengan kesepakatan hibah tersebut telah digunakan hampir mencapai 40 tahun. 

"Masalah alutsista kita itu selama ini terlalu berat di biaya perbaikan dan perawatan. Menengok ke belakang, banyak kecelakaan alutsista diakibatkan karena perawatan tidak optimal. Jangan sampai nanti kapal hibah ini memakan korban jiwa prajurit-prajurit kita lagi," paparnya. 

"Indonesia tidak boleh tergiur dengan hibah alutsista dari negara mana pun. Sebab pemberinya jarang memberikan kelengkapan dan kelaikan sesuai dengan kebutuhan TNI. Apakah kapal hibah ini dilengkapi dengan sonar dan persenjataan lainnya? atau hanya unit kapal tanpa persenjataan. Karena secara operasional ini penting," ucap Rizki 

Perhatian lainnya, kata dia, Indonesia harus bisa memastikan bahwa kapal telah bebas dari adanya kemungkinan peralatan yang masih terhubung dengan produsen atau pengguna sebelumnya. Itu supaya tidak menjadi lubang kebocoran informasi yang bersifat rahasia. 

Ia mengingatkan perkembangan dinamika ancaman laut yang meningkat di perairan Indonesia. "Saat ini ditemukan banyak sea glider, patut juga diperhatikan pengadaan UUV (unmanned underwater vehicle) untuk dapat membantu memantau ancaman di bawah laut Indonesia," pungkasnya. 

Diketahui pembelian kapal tidak sama dengan pembelian senjata perorangan. Pembelian Kapal harus disertai pelatihan dan juga berdampak pada kurikulum pendidikan. Sebelumnya Indonesia hanya sekali mampu melaksanakan pembelian kapal secara komprehensif, yaitu Kelas Korvet Belanda era 80 an (KRI Fatahilah, KRI Nala dan KRI Malahayati). 

Pembelian kapal disertai dengan Sarpras pendidikan di Kodiklatal. Sehingga sebelum ABK menempati posisi sebagai pengawak 3 kapal tersebut haruslah mengikuti pelatihan di Kodiklatal, dimana Sarparsnya persis layaknya KRI. 

Dengan adanya kapal-kapal baru maka ABK akan belajar lagi, dan sangat memungkinkan mereka lakukan pendekatan trial and eror (coba coba) sehingga hal ini sangat dimungkinkan terjadi kecelakaan. Jika Indonesia membeli dengan karakteristik baru maka pelatihan SDMnya harus berkelanjutan. Belum lagi dengan mantainance. Ilustrasinya satu rumah beragam merek mobil maka akan menyulitkan maintanance nya. 

Rencananya Indonesia akan menerima hibah tiga kapal perang milik Korea Selatan jenis korvet. Menyusul ke depan Indonesia juga dijanjikan Jepang akan diberikan armada serupa. (OL-7)

BERITA TERKAIT