26 January 2022, 13:44 WIB

Pemohon Sebut Hanya Dua Calon Presiden Picu Masyarakat Terbelah


 Indriyani Astuti | Politik dan Hukum

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
 ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Ketua Majelis Hakim Konstitusi (MK) Aswanto (kanan) memimpin sidang pengujian materiil UU No 7/2017 tentang Pemilu di MK, Jakarta.

MANTAN Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang diwakili kuasa hukumnya Refly Harun berpendapat ambang batas presiden menimbulkan dampak sosiologis di masyarakat.

Pada pemilu sebelumnya, ujar Refly, secara faktual sudah terjadi pembelahan di masyarakat terutama ketika presiden hanya dua calon. Menurutnya, hal itu antara lain ditengarai karena penerapan ambang batas pencalonan presiden yang terlalu tinggi .

"Sejak 2014 dan kemudian 2019, dimana hanya menghasilkan dua calon dan pembelahan masyarakat itu sangat terasa terjadi," ujarnya dalam sidang uji materi Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu terhadap UUD 1945 dengan agenda perbaikan permohonan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (26/1).

Gatot Nurmantyo menguji Pasal 222 UU Pemilu yang memuat ketentuan ambang batas pencalonan presiden.

Refly menuturkan lebih jauh selama proses perubahan konstitusi atau amandemen konstitusi, tidak ada pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden. Namun yang ada adalah ambang batas dalam konteks pemilihan legislatif.

Mengenai putusan MK sebelumnya yang telah menyatakan aturan ambang batas presiden konstitusional atau tidak bertentangan dengan UUD 1945, Refly mengatakan pendapat lain dari putusan MK.

Menurutnya, tidak benar bahwa ambang batas pencalonan presiden untuk penguatan sistem pemerintahan presidensial.

"Kami menganggap justru sistem pemerintahan presidensial Indonesia pascaperubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu sudah sangat kuat, dibandingkan sebelum perubahan," ujar dia.

Ia juga mengatakan presiden yang terpilih bisa didukung oleh partai politik di parlemen yang sebelumnya tidak menjadi mitra di dalam pencalonan seperti hari ini Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Kemudian mengenai pendapat Mahkamah bahwa ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan pembuat UU, menurut kuasa hukum pemohon partai-partai besar yang kemudian diuntungkan dengan adanya ketentuan itu.

"Dan sejarah presidential threshold 20% ini sendiri adalah sejarah untuk menghadang Susilo Bambang Yudhoyono waktu itu bisa dicalonkan untuk periode kedua, sebagaimana keterangan mantan Ketua DPR (lalu) Marzuki Alie," ucapnya.

Pemohon Gatot Nurmantyo mengatakan presidential threshold 20% adalah bentuk kudeta terselubung terhadap negara demokrasi, menjadi partaikrasi melalui rekayasa undang-undang.

Ketua sidang panel Hakim Konstitusi Aswanto menuturkan, perkara itu akan dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim. "Apa pun yang diputuskan di Rapat Permusyawaratan Hakim, akan disampaikan kepada pemohon," tukasnya. (Ind/OL-09)

BERITA TERKAIT