UNDANG-UNDANG Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh 12 pemohon yang terdiri dari kepala dan perangkat desa. Kuasa hukum para pemohon Deny Syahrial Simorangkir mengatakan terdapat 25 pasal yang diuji materi berkaitan dengan sistem pemerintahan desa, pemilihan kepala desa, dan masa jabatan kepala desa.
Deny menjelaskan, diberlakukannya Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) UU Desa mengenai pemilihan kepala desa yang diatur secara limitatif, akan membatasi otonomi desa.
"Bahwa desa akan kehilangan ciri khasnya dalam hal pemilihan kepala desa yang masing-masing daerah mempunyai ciri khasnya dalam model demokrasi," ujar Deny dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, serta anggota Hakim Konstitisi Wahiduddin Adams dan Daniel Yusmic P Foekh di Gedung MK, Jakarta, Senin (17/1).
Alasan lain, kuasa hukum pemohon mendalilkan adanya pemilihan kepala desa pada Undang-Undang Desa yang baru, membebani anggaran daerah dan memicu adanya korupsi. Pasal lain yang diuji yakni Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 53, menurut para pemohon masyarakat desa tidak mengenal istilah-istilah di UU Desa seperti kaur kesra dan sekretaris desa (sekdes).
Sebutan pamong desa lebih dikenal untuk perangkat desa. Istilah-istilah pamong desa antara modin, bayan, jogoboyo, ulu-ulu, lebe, raksa bumi, juru tulis, carik, kebayan, ladu, kamituwo, petengan, dan bekel.
Adapun pasal-pasal yang diujimaterikan yakni Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38 Pasal 39 ayat (1), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU 6/2014) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Dalam menanggapi permohonan tersebut, Hakim MK Enny Nurbaningsih menyampaikan putusan MK bersifat erga omnes atau berlaku terhadap semua. Dengan begitu tidak perlu diajukan oleh 12 pemohon. "Konsekuensinya kerugian konstitusional dari masing-masing pemohon, harus diuraikan satu per satu ditambah bukti yang kuat," ucap Enny.
Lalu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan hal yang penting ditekankan ialah persoalan konstitusionalitas norma dari pasal-pasal yang diujikan, bukan implementasi norma. Selain itu juga para pemohon perlu menguraikan kerugian konstitusionalitas yang dialami baik potensial atau aktual dialami.
Wahiduddin mengatakan UU Desa merupakan UU baru yang awalnya masuk rezim pemerintahan desa. "Saudara banyak menyebutkan dengan barunya UU ini, masyarakat tidak akrab dengan istilah di undang-undang. Harus dibedakan sifatnya kurang sosialisasi atau memang bertentangan dengan UUD 1945," ujarnya.
Pada petitum para pemohon meminta Mahkamah menyatakan 25 pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak berkekuatan hukum.
"Kalau 25 pasal dinyatakan bertentangan dan tidak punya kekuatan mengikat bagaimana eksistensi UU Desa. Nanti akan hilang semuanya. Ini perlu Anda pertimbangkan," papar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. (P-2)