PUTUSAN sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) terhadap dua orang hakim berinisial JW dan MJP perlu didalami oleh aparat penegak hukum. Sebab, keduanya dinyatakan terbukti bertemu, meminta tiga buah telepon seluler, meminta sejumlah uang, dan melakukan tawar menawar dengan pihak berperkara. Hal itu disampaikan oleh peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman.
"Tentu kalau aparat penegak hukum memiliki kewenangan pro justitia dan juga memiliki perangkat, kewenangan, dan alat untuk bisa menelisik lebih jauh apakah benar atau tidak telah terjadi transaksi, ada pemberian dan penerimaan sejumlah uang dan barang," jelasnya kepada Media Indonesia, Jumat (15/10).
Menurut Zaenur, tingkat pengungkapan perkara dalam sidang MKH berbeda dibanding penyelidikan aparat penegak hukum. Sidang MKH, katanya, hanya sebatas proses etik. Sementara kerja aparat penegak hukum telah dijamin oleh kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP).
Baca juga : Jaksa Agung Perintahkan Awasi Proyek Kereta Cepat Bandara Yogyakarta
Dalam sidang yang digelar Rabu (13/10), majelis yang diketuai M Taufiq HZ dengan anggota Amzulian Rifai, Siti Nurdjanah, Binziad Kadafi, Yodi Martono Wahyunadi, Gazalba Saleh dan H Dwi Sugiarto menjatuhkan sanksi berat berupa hakim nonpalu selama dua tahun. Keduanya dinyatakan tidak terbukti menerima ponsel maupun uang yang dimaksud.
Zaenur menerangkan aparat bisa mendalami penyebab tidak terbuktinya penerimaan ponsel maupun uang itu. Sebab, jika kedua hakim tidak menerima karena disebabkan pihak lain, hal itu masuk dalam percobaan tindak pidana.
"Dan itu termasuk pidana. Kalau suapnya hakim itu bisa dijerat dengan Pasal 6 Ayat 2 jo Pasal 12 huruf c jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP tentang percobaan," terang Zaenur.
"Tapi kalau tidak selesainya perbuatan (penerimaan uang dan ponsel) karena inisiatif sendiri, ya itu bukan percobaan, jadi itu tidak bisa diungkap," pungkasnya. (OL-2)