BANYAK calon dari dinasti politik yang maju dalam Pilkada 2020, namun harus menelan pil pahitkekalahan. Hal itu menunjukkan adanya keinginan masyarakat untuk menolak dinasti politik.
Demikian rilis hasil riset Nagara Institute terkait Dinasti Politik Pilkada 2020 dan Pascaputusan Sengketa Mahkamah Konstitusi. Kurator Politik dan Pertahanan Nagara Institute Mulyadi La Tadampali menyebut dari 129 calon kepala daerah yang berafiliasi dengan dinasti politik, 72 calon dinyatakan kalah dalam Pilkada 2020. Sementara itu, 52 calon dinyatakan menang.
"Tidak terpilihnya calon-calon tersebut, menunjukkan ada kesepakatan diam yang besar untuk menolak dinasti politik," ujar Mulyadi, Senin (12/4).
Baca juga: Parpol Seharusnya tidak Jadi Dinasti Keluarga
Berdasarkan hasil riset, dari 128 calon yang berasal atau punya hubungan dengan dinasti politik, 8 orang di antaranya merupakan calon tunggal. Menurutnya, hal itu menandakan partai politik semakin pragmatis, karena memberikan dukungan hanya pada satu calon yang berasal dari dinasti politik. Ketimbang mencari kandidat lain sebagai alternatif.
Dari hasil riset juga diketahui bahwa 52 calon yang berasal atau punya hubungan dengan dinasti politik dan dinyatakan menang, terdapat 27 kepala daerah terpilih yang kemenangannya digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Artinya, ada persoalan legitimasi dalam terpilihnya calon berlatang belakang dinasti politik. Tidak bisa menjamin pemerintahan dijalankan transparan," pungkas Mulyadi.
Baca juga: Calon Tunggal Semakin Menjamur di Pilkada 2020
Meski masyarakat Indonesia sudah menganut budaya politik partisipan atau paham calon yang layak untuk dipilih, namun dinasti politik sulit dibenahi, jika akar masalahnya pada partai politik. Partai politik dikatakannya semakin pragmatis dan oligarki.
Dewan Pembina Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai temuan Nagara Institute menjadi refleksi dinamika politik di Indonesia. Bahwa, dinasti politik menghambat proses demokrasi.
Menurutnya, fenomena dinasti politik dari tahun ke tahun bersumber dari sejumlah faktor. Seperti, kian sempitnya ruang untuk mengakses pencalonan, karena pembatasan yang didesain secara sengaja oleh pembuat regulasi. Dia menyoroti kenaikan ambang batas pencalonan, baik dari jalur partai politik maupun perseorangan, yang menjadi penyebab maraknya dinasti politik.(OL-11)