27 December 2020, 04:40 WIB

Politik Dinasti Perlu Regulasi Tepat


(Ami/Ant/P-2) | Politik dan Hukum

MI/AGUS M
 MI/AGUS M
 Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini memberikan paparan dalam diskusi virtual bertajuk Pilkada, Antara Dinasti dan Kotak Kosong 

REGULASI yang tepat akan meminimalisasi politik dinasti yang mengabaikan kaderisasi dan rekrutmen politik demokratis. Dalam negara demokrasi, semua berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengemukakan hal tersebut dalam merespons masih kuatnya kekuatan elektoral
dinasti politik dalam pilkada. Ia menyayangkan ketiadaan aturan mengekang politik yang melanggengkan kekuasaan dalam lingkaran keluarga.

“Hal ini pula yang ditengarai makin menyuburkan politik dinasti dalam pilkada, terutama setelah putusan MK yang menghapus masa jeda 5 tahun bagi kerabat atau anggota keluarga
inti petahana yang ingin maju pilkada yang sebelumnya diatur dalam UU No 8 Tahun 2015,” tutur Titi, kemarin.

Menurut dia, regulasi yang tepat, misalnya, dengan menerapkan syarat sebagai kader selama minimal tiga tahun untuk calon yang diusung partai. Persyaratan tersebut harus disertai
pemenuhan bukti keikutsertaan calon dalam program kaderisasi partai politik.

Kemudian, jalur perseorangan harus sepenuhnya diisi calon nonparpol. Selain itu agar pemilih punya beragam alternatif pilihan, persyaratan untuk pengusulan paslon di pilkada
dari jalur parpol maupun perseorangan dibuat lebih mudah.

“Semestinya ambang batas pencalonan pilkada dihapuskan saja dan syarat dukungan calon perseorangan diseragamkan menjadi 3% dari total jumlah DPT pemilu atau pemilihan terakhir,” ungkapnya.

Sebelumnya Titi mengkritik etika politik pasangan suami istri, ayah, dan anak yang berhasil menang dalam pemilihan di satu daerah.

Namun, politik dinasti bukan termasuk isu yang menjadi perhatian parlemen untuk dimasukkan revisi Undang-Undang Pilkada maupun UU Pemilu. DPR pun baru mewacanakan untuk
menggabungkan kedua UU.

Anggota Badan Legislasi ( Baleg) DPR RI Guspardi Gaus menyebut sejumlah isu krusial yang ada dalam draf revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Isu-isu yang masih bersifat kompilatif tersebut adalah pertama, terkait sistem pemilu apakah terbuka, tertutup, atau campuran.

Kedua, mengenai ambang batas parlemen dan presiden. Ketiga, sistem konversi penghitungan suara ke kursi. Keempat, terkait district magnitude jumlah besaran kursi per daerah
pemilihan. “Lalu ada mengenai keserentakan pemilu, ada mengenai digitalisasi pemilu,” ungkap Guspardi.

Guspardi juga menyinggung kemungkinan penundaan Pilkada 2022 ke 2023. Demikian pula soal pelaksanaan puncak pilkada di 2026-2027 pascapemilihan presiden/pemilihan legislatif 2024. (Ami/Ant/P-2)

BERITA TERKAIT