DINASTI politik tumbuh subur setelah aturan yang membatasinya dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk itu perlu aturan baru yang menekannya tanpa merugikan hak konstitusional.
Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengusulkan menambahkan syarat pencalonan kepala daerah. Pertama, kandidat kepala daerah harus menjadi kader partai selama lima tahun dan berkiprah untuk kepentingan publik.
“Itu supaya kandidat tahu bagaimana mengurus masyarakat. Karena kandidat dari dinasti politik itu terkadang tidak memiliki dasar dan pengalaman mengenai isu dan strategi kepimpinan,” urainya pada webinar bertajuk Oligarki dalam Bentuk Dinasti Politik Semakin Parah, Mari Kita Bedah, kemarin.
Kemudian, pelaksanaan seleksi bakal calon sebaiknya melalui uji publik oleh partai pengusung. Pria yang akrab disapa Djo itu juga mengatakan, bakal calon kepala daerah seharusnya tidak boleh menduduki jabatan partai saat terpilih. Tujuannya untuk mencegah nepotisme dengan merekomendasikan keluarga untuk meneruskan jabatannya.
“Biasanya dinasti politik itu muncul juga karena petahana berkuasa di partai. Dengan posisi itu mereka gampang melobi keluarganya untuk lolos mendapatkan dukungan dan seleksi di partai,” ujarnya.
Pejabat yang kedapatan kerabat atau keluarganya maju di pilkada, menurut Djo juga harus cuti tanpa tanggungan. Hal itu untuk mencegah penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan kontestasi kerabat.
Perubahan persyaratan pencalonan, kata Djo, tentu harus melalui revisi UU Pilkada yang kini juga tengah berproses di DPR. “Agar komprehensif, juga dituangkan dalam UU Parpol serta Pemda,” tegasnya.
Pakar hukum Tata Negara Refly Harun menambahkan terdapat dua cara untuk menghambat kesuburan politik dinasti di Indonesia.
Pertama, dengan melakukan uji materi untuk mengembalikan pasal larangan dinasti politik, atau memasukkan syarat-syarat baru yang tidak bertentangan dengan hak konstitusional ke dalam UU Pilkada.
Hidupkan kembali
Hasil riset Nagara Institute menyebut terdapat 124 kandidat yang memiliki kekerabatan dengan petahana atau bekas pejabat daerah dari 741 pasangan kandidat di 270 daerah pada Pilkada 2020.
Temuan Nagara Institute mengungkapkan tumbuh suburnya dinasti politik ini disebabkan, salah satunya oleh Putusan MK 33/PUU-XIII/2015 yang membatalkan Pasal 7R UU Pilkada. Sebelum putusan itu, jumlah dinasti politik pada rentang waktu tahun 2005-2014 hanya 59 orang kandidat. Namun, dalam pilkada serentak pada tahun 2015, 2017, dan 2018 terjadi kenaikan drastis hingga mencapai 86 orang kandidat.
Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faisal menyatakan akan mengajukan uji materi ke MK agar MK menghidupkan kembali larangan bakal calon kepala daerah yang memiliki kekerabatan dengan petahana.
Akbar menilai politik dinasti menimbulkan stagnasi demokrasi. Partai politik yang seharusnya melakukan kaderisasi pemimpin terhenti karena praktik kekerabatan ini, termasuk juga potensi korupsi seperti yang telah terjadi di sejumlah daerah.
“Maka hasil riset kami akan menjadi novum baru untuk menggugat ke MK supaya Pasal 7R (dalam UU Pilkada) itu kembali dihidupkan,” tandas Akbar. (P-2)