15 October 2020, 21:13 WIB

Tekan Dinasti Politik dengan Memperketat Syarat Pencalonan


Cahya Mulyana | Politik dan Hukum

ANTARA FOTO/Septianda Perdana
 ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Aksi tolak politik dinasti

DINASTI politik tumbuh subur setelah aturan yang membatasinya dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Guna menekannya perlu aturan baru namun tetap tidak merugikan hak konstitusional.

"Saya punya lima usulan untuk menekan politik dinasti ini tanpa harus mengembalikan pasal 7R (UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada) yang telah dibatalkan MK. Pasalnya pemerintah tidak akan mau mengajukan pasal atau materi yang sempat dibatalkan MK, termasuk juga DPR," kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2010-2014 Djohermansyah Djohan pada webinar bertajuk Oligarki dalam Bentuk Dinasti Politik Semakin Parah, Mari Kita Bedah, Kamis (15/10).

Para kesempatan itu juga hadir Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faisal dan Peneliti Nagara Institute Febriansyah Ramadhan.

Menurut dia, syarat pencalonan kepala daerah mesti ditambah supaya kandidat yang muncul bermutu tinggi dan terbebas dari dinasti politik. Ia pun mengusulkan, pertama kandidat kepala daerah harus menjadi kader partai selama lima tahun dan berkiprah untuk kepentingan publik.

"Itu supaya kandidat tahu bagaimana mengurus masyarakat. Karena kandidat dari dinasti politik itu terkadang tidak memiliki dasar dan pengalaman mengenai isu dan strategi kepimpinan," urainya.

Saran kedua yang perlu masuk dalam syarat pencalonan kepala daerah, lanjut dia, pelaksanaan seleksi bakal calon melalui uji publik oleh partai pengusung. Kemudian syarat pendidikan ditingkatkan dengan minimal telah mengenyam strata 1 (S1).

"Itu untuk mencegah kandidat yang tidak jelas sekolahnya dan kerap muncul karena dinasti politik. Semisal, 24 istri kepala daerah yang sekarang maju itu apakah seluruh memiliki riwayat pendidikan yang baik atau bisa jadi ada yang tidak tamat sekolah," paparnya.

Usulan berikutnya, kata dia, batas minimal usia perlu dinaikan 10 tahun. Ia mencontohkan bakal calon walikota dan wakil walikota menjadi 35 tahun ke atas, bupati dan wakil bupati 40 tahun ke atas.

"Lantaran, kematangan seseorang dalam memimpin itu kira-kira terjadi pada usia itu," urainya.

Pria yang akrab disapa Djo itu juga mengatakan, bakal calon kepala daerah tidak boleh merangkap jabatan saat terpilih dengan jabatan partai. Tujuannya untuk mencegah nepotisme dengan merekomendasikan keluarga untuk meneruskan jabatannya.

"Biasanya dinasti politik itu muncul juga karena petahana berkuasa di partai. Dengan posisi itu mereka gampang melobi keluarganya untuk lolos mendapatkan dukungan dan seleksi di partai," ujarnya.

Terakhir, ia menyarankan pejabat yang kedapatan kerabat atau keluarganya maju di pilkada harus cuti tanpa tanggungan. Meskipun bukan pimpinan tertinggi seperti sekretaris daerah pun harus melakukan itu.

"Tujuannya jelas guna mengantisipasi atau meminimalisasi penyalahgunaan wewenang dan lain sebagainya untuk kepentingan kontestasi," ujarnya.

Usulannya itu, kata dia, bisa dimasukkan dalam UU Pilkada yang tengah masuk proses revisi di DPR. "Ini levelnya untuk perbaikan di UU Pilkada dan supaya komprehensif juga dituangkan dalam UU Parpol serta Pemda," tegasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faisal mengatakan akan mengajukan judicial review ke MK. Maksudnya untuk meminta MK menghidupkan kembali larangan bakal calon kepala daerah yang memiliki kekerabatan dengan petahana.

Menurut Dia, politik dinasti menimbulkan stagnasi demokrasi. Partai politik yang seharusnya melakukan kaderisasi pemimpin terhenti karena praktik kekerabatan ini, termasuk juga potensi korupsi seperti yang telah terjadi di sejumlah daerah.

"Maka hasil riset kami akan menjadi novum baru untuk menggugat ke MK supaya pasal 7R itu kembali dihidupkan," pungkasnya.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menambah terdapat dua cara untuk menghambat kesuburan politik dinasti di Indonesia. Pertama, itu dengan melakukan judicial review seperti yang direncanakan Nagara Institute dan kedua memasukan syarat-syarat baru yang tidak bertentangan dengan hak konstitusional ke dalam UU Pilkada. (OL-4)

BERITA TERKAIT