29 August 2020, 18:03 WIB

Polsek Ciracas Diserbu, Hendardi Minta Revisi UU Peradilan Militer


Henri Siagian | Politik dan Hukum

MI/ANDRI WIDIYANTO
 MI/ANDRI WIDIYANTO
Sejumlah kendaraan yang dirusak massa yang menyerbu Polsek Ciracas, Jakarta Timur, Sabtu (29/8/2020).

Ketua SETARA Institute Hendardi mendesak Presiden Joko Widodo untuk mendorong kembali gerbong reformasi TNI yang menunjukkan arus balik.

"Termasuk membatalkan rencana pengesahan Peraturan Presiden Tugas TNI dalam Menangani Aksi Terorisme dan memprakarsai revisi UU 31/1997 tentang Peradilan Militer dengan agenda utama memastikan kesetaraan di muka hukum. Bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum, harus diadili di peradilan umum, sebagaimana umumnya anggota masyarakat lain," kata Hendardi dalam keterangan tertulis yang diterima Media Indonesia, Sabtu (29/8).

Ketua SETARA Institute Hendardi. (Antara)

Baca juga: Polisi Sebut 100 Orang Serang Mapolsek Ciracas

Hendardi mengungkapkan, pernyataan itu terkait aksi penyerangan sekelompok pengacau yang teridentifikasi sebagai anggota TNI ke Mapolsek Ciracas, Jakarta Timur, pada Sabtu (29/8) dini hari. Dalam aksi itu, pelaku merusak sejumlah kendaraan dan menganiaya petugas kepolisian. Sebelumnya, pelaku juga merusak di Pasar Rebo serta menganiaya dan melukai warga sipil. Gerombolan juga merazia, merusak kendaraan, disertai pemukulan terhadap warga pengguna jalan raya di Jalan Raya Bogor dari arah Cibubur sebelum Mapolsek.

Baca juga: TNI Bantah Terlibat dalam Perusakan Polsek Ciracas

"SETARA Institute mengutuk keras tindakan brutal yang dipertontonkan sejumlah orang. Perilaku mereka merupakan kebiadaban terhadap aparat keamanan negara dan warga sipil. Tindakan melawan hukum dan main hakim sendiri yang dipertontonkan jelas mengganggu tertib sosial dalam negara demokrasi dan negara hukum. Mereka juga merusak dan mengancam keselamatan masyarakat, utamanya warga sipil," ungkapnya.

Baca juga: Mobil Wakapolsek Ciracas Dibakar, Dua Polisi Terluka

Menurut Hendardi, jika benar ada anggota TNI terlibat dalam peragaan kekerasan menunjukkan berulangnya peristiwa kekerasan yang diperagakan oleh sejumlah personel TNI.

Hal itu, imbuh Hendardi, salah satunya disebabkan karena TNI terlalu lama menikmati keistimewaan dan kemewahan (previlege) hukum karena anggota TNI tidak tunduk pada peradilan umum.

Baca juga: Penyerangan Polres Ciracas Bukan yang Pertama

Reformasi TNI, lanjut dia, hanya bergerak di sebagian aras struktural tetapi tidak menyentuh dimensi kultural dan perilaku anggota.

"Kemandekan reformasi TNI, telah menjadikan anggota TNI immun dan terus merasa supreme menjadi warga negara kelas 1. Kebiadaban yang diperagakan pada 29 Agustus menggambarkan secara nyata kegagalan reformasi TNI," tukas dia.

Menurut dia, privilese dan immunitas yang sama juga akan terjadi ketika TNI melalui Rancangan Perpres Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme disahkan oleh Presiden Jokowi.

"Tidak bisa dibayangkan, atas nama memberantas terorisme, kebiadaban dan unprofessional conduct seperti diperagakan dalam peristiwa terbaru ini akan menjadi pemandangan rutin dan dianggap benar oleh peraturan perundang-undangan. Performa penanganan tindak pidana terorisme akan bergeser menjadi peragaan anarkisme kelompok yang dilegitimasi hukum tanpa mekanisme akuntabilitas yang adil," sambung Hendardi.

Menurut dia, tidak ada pilihan lain bagi aparat hukum untuk mengusut tuntas kekerasan dan kebiadaan itu, termasuk kemungkinan meminta pertanggungjawaban personel TNI jika terlibat. "Tidak boleh muncul kesan dari institusi dan pihak manapun untuk memaklumi apalagi melindungi perilaku biadab yang dipertontonkan secara terbuka tersebut. Rule of law harus menjadi panglima untuk mewujudkan tertib hukum dan tertib sosial," tegas dia.

Secara terpisah,.Komandan Distrik Militer (Dandim) 0505/JT Kolonel Kav Rahyanto Edy Yunianto mengaku belum mendapat laporan anggotnya terlibat dalam perusakan tersebut. "Sementara belum ada laporan, tidak ada laporan," kata Rahyanto di Makodam Jaya, Sabtu (29/8).  (X-15)

BERITA TERKAIT