PARA aktivis masyarakat sipil menyoroti praktik politik dinasti yang dilakukan sejumlah elite politik nasional dan lokal. Mereka menilai politik kekerabatan ini menghambat demokrasi karena bertautan dengan oligarki dan korupsi di politik.
“Praktik ini menyebabkan negara kita sulit mewujudkan demokrasi yang antikorupsi,” kata anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraeni dalam diskusi bertajuk 75th Merdeka: Maju Keluargamu, Mundur Demokrasiku, di Jakarta, Selasa (25/8).
Menurut Titi, saat ini para elite politik memberikan narasi bahwa politik dinasti tidak dilarang konstitusi. Padahal, praktik ini secara nyata bisa membatasi akses warga negara ke jabatan publik, baik di level nasional dan lokal.
“Ini utamanya terjadi karena proses rekrutmen calon tidak demokratis akibat adanya sentralisasi pencalonan,” papar Titi.
Akibat dari proses rekrutmen yang tidak demokratis, tambah Titi, masyarakat pun menjadi ragu terhadap kapasitas calon dari dinasti politik untuk memajukan wilayahnya. “Apalagi jika publik melihat calon dari dinasti itu tidak jelas track record-nya,” jelasnya.
Hal senada diungkapkan Jeirry Sumampow dari Komite Pemilih Indonesia (Tepi). Menurutnya praktik politik dinasti ini sebagai konsekuensi dari ketidaksetaraan akses ke kekuasaan. Selain itu, praktik ini menyebabkan tidak berlakunya sistem meritokrasi dan adanya akuntabilitas politik.
“Sayangnya hal ini juga dilakukan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang ikut merestui anggota keluarganya melakukan politik dinasti,” ungkapnya.
Titi menambahkan bahwa praktik kekerabatan ini merupakan refleksi dari politik dinasti yang terjadi di partai politik. “Buntutnya kita menyaksikan banyak kepala daerah dari politik dinasti yang terlibat korup. Hal ini semakin menegaskan posisi Indonesia yang berada di paling bawah dalam upaya menghapus korupsi di negara-negara Asia Tenggara,” tegasnya.
Titi berharap adanya regulasi baru yang mengatur pencalonan kepala daerah maupun pimpinan politik di level nasional untuk memperbaiki situasi yang terjadi saat ini.
“Penting juga dilakukan demokratisasi dalam internal partai. Namun yang tak kalah penting yaitu gerakan masyarakat sipil untuk menekan elite politik untuk berubah,” pungkasnya. (P-2)