29 October 2019, 09:10 WIB

Jaksa Minta Hak Politik Markus Nari Dicabut


Abdillah M Marzuqi | Politik dan Hukum

MI/PIUS ERLANGGA
 MI/PIUS ERLANGGA
Mantan anggota Komisi II DPR Markus Nari sekaligus terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik.

JAKSA penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut hukuman tambahan kepada mantan anggota Komisi II DPR dari F-PG, Markus Nari. Ia dinilai terbukti melakukan korupsi terkait proyek KTP-E dan merintangi secara tidak langsung terhadap proses pemeriksaan perkara tersebut.

“Menjatuhkan pidana tambahan berupa mencabut hak terdakwa untuk menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan,” kata jaksa ­Andhi Kurniawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin.

Jaksa juga meminta Markus membayar uang pengganti US$900 ribu, paling lama satu bulan setelah perkara itu berkekuatan hukum tetap. Terdakwa akan mendapatkan tambahan hukuman 3 tahun penjara bila tak membayar uang pengganti.

Markus dituntut 9 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurung-an. Ia dinilai terbukti menerima US$900 ribu dalam kasus KTP-E.

Politikus Golkar itu pun dinilai terbukti merintangi proses persidangan secara langsung atau tidak langsung saat pemeriksaan anggota DPR Miryam S Haryani dan persidangan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Markus dinilai melanggar Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Dalam kasus merintangi, Markus dinilai melanggar Pasal 21 jo Pasal 35 ayat (1) UU Tipikor.

Jaksa menilai terdakwa tak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Perbuatannya juga dianggap masif karena menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional. Dampak dari ­perbuatan tersebut masih dirasakan hingga saat ini.

Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa ­menimbulkan kerugian keuangan negara yang besar dan juga tidak mengakui perbuatannya. Sebaliknya yang meringankan, terdakawa berlaku sopan selama persidangan.

Terkait dengan tuduhan penghalangan, Markus meng-ungkapkan bahwa ia tidak pernah menekan Miryam S Haryani untuk menghalangi pemeriksaan dalam sidang pengadilan sebagaimana yang didakwakan jaksa.

“Kami didakwa Pasal 21, tidak pernah yang bersangkutan merasa ditekan oleh saya,” ujar Markus seusai sidang.

Markus dan kuasa hukumnya berencana mengajukan nota pembelaan atau pleidoi atas tuntutan jaksa. Sidang pembacaan pleidoi digelar Senin, 4 November 2019.

 

Mobil mewah

Jaksa juga menuntut ­perampasan mobil Land Rover milik Markus yang dinilai berasal dari aliran dana proyek KTP-E.

“Karena terdakwa terbukti melakukan perbuatan pidana menerima aliran dana KTP-E, barang bukti No 7513-7515 dalam berkas perkara merupakan hasil pembelian dari uang yang berasal dari dana KTP-E. Sudah sewajarnya mobil itu dirampas untuk negara dan diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti,” tegas jaksa Ahmad ­Burhanuddin. (Ant/P-3)

BERITA TERKAIT